RUU KUHP: Komisi III Dorong Penyelesaian Kasus Penghinaan Presiden Lewat Keadilan Restoratif
Komisi III DPR RI mendorong penyelesaian kasus penghinaan presiden melalui keadilan restoratif (RJ) dalam RUU KUHAP untuk mencegah multitafsir dan kriminalisasi yang tidak perlu.

Jakarta, 24 Maret 2024 - Komisi III DPR RI menegaskan pentingnya penyelesaian kasus penghinaan terhadap presiden melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Hal ini disampaikan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, setelah rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pakar terkait RUU KUHAP. Pernyataan ini sekaligus meluruskan informasi keliru yang beredar di publik.
Menurut Habiburokhman, pasal penghinaan presiden rentan terhadap multitafsir. "Faktanya bahwa justru pasal tersebut, pasal penghinaan presiden adalah pasal yang paling penting yang harus bisa diselesaikan dengan restorasi justice karena itu adalah pasal terkait ujaran, orang bicara A, bisa jadi tafsirkan B, C, dan E karena itu cara menyelesaikannya adalah dengan mekanisme dialog restorative justice," ujarnya. Penerapan RJ diharapkan dapat mencegah masyarakat mudah dijerat hukuman penjara atas pernyataan yang dianggap menghina presiden.
Habiburokhman menekankan pentingnya dialog dan mediasi sebelum jalur hukum ditempuh. "Memang pasal tersebut harusnya bisa diselesaikan dengan dialog dahulu, dengan mediasi dahulu, dengan restorative justice, sehingga nggak gampang orang karena perbedaan kepentingan politik, perbedaan posisi politik, (lalu) di pidana, dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penghinaan kepada presiden," tegasnya. Ia juga membantah informasi yang menyebut RJ dikecualikan untuk kasus penghinaan presiden, menyebutnya sebagai informasi yang menyesatkan akibat kesalahan redaksi dalam dokumen yang dikirim ke pemerintah.
Mekanisme Keadilan Restoratif dalam RUU KUHAP
Komisi III DPR RI menegaskan bahwa Pasal 77 draf RUU KUHAP tidak mengecualikan pasal penghinaan terhadap presiden dari mekanisme keadilan restoratif. "Sudah sepakat bahwa tidak benar pengaturan tersebut. Yang benar adalah justru pasal penghinaan presiden memang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice. Jadi di Pasal 77 itu rumusannya diubah, yang benar adalah tidak ada pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden di KUHP," tutur Habiburokhman. Komisi III bahkan mendorong agar RJ bukan hanya pilihan, melainkan menjadi jalur wajib dalam kasus penghinaan presiden.
Penerapan RJ dianggap sebagai kebijakan progresif dalam hukum pidana Indonesia. Dengan demikian, diharapkan proses hukum dapat lebih bijaksana dan tidak mudah menjerat masyarakat dengan tuduhan penghinaan presiden hanya karena perbedaan pandangan politik. Komisi III berupaya agar pasal penghinaan presiden tidak langsung menuju penegakan hukum, melainkan melalui jalur RJ terlebih dahulu.
Seluruh fraksi di Komisi III sepakat atas pentingnya penyelesaian kasus penghinaan presiden melalui RJ. Hal ini menunjukkan komitmen DPR RI untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan bijaksana, serta mencegah penyalahgunaan pasal penghinaan presiden untuk tujuan politik.
Kesimpulan
Dorongan Komisi III DPR RI untuk memasukkan mekanisme keadilan restoratif dalam penanganan kasus penghinaan presiden dalam RUU KUHAP merupakan langkah signifikan dalam menciptakan sistem hukum yang lebih humanis dan berkeadilan. Langkah ini diharapkan dapat mencegah kriminalisasi yang tidak perlu dan menyelesaikan konflik secara damai dan restorative.