Tahukah Anda? OJK Ungkap Strategi Hadapi Lonjakan BPR Bermasalah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara konsisten mendorong penguatan tata kelola dan konsolidasi industri untuk mengatasi maraknya BPR bermasalah di Indonesia, memastikan pertumbuhan sektor perbankan yang sehat dan berkelanjutan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan respons tegas terhadap peningkatan jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang mengalami masalah, yang berujung pada pencabutan izin usaha. Fenomena ini menyoroti urgensi penguatan tata kelola dan konsolidasi di seluruh industri BPR. Langkah-langkah strategis telah disiapkan untuk menjaga stabilitas dan integritas sektor keuangan mikro.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa otoritas terus mendorong perbankan, termasuk BPR dan BPR Syariah (BPRS), untuk ekspansi kredit secara hati-hati. Hal ini dilakukan melalui penerapan prinsip prudential banking, manajemen risiko, serta tata kelola yang baik. Tujuannya adalah menciptakan industri perbankan yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, OJK telah mencabut izin usaha 22 BPR di berbagai daerah sebagai bagian dari upaya penyehatan. OJK memiliki kebijakan exit policy yang terstruktur untuk menangani bank bermasalah, termasuk BPR dan BPRS. Kebijakan ini menitikberatkan pada deteksi dini dan langkah penyehatan komprehensif.
Penguatan Tata Kelola dan Kebijakan 'Exit Policy' OJK
OJK secara konsisten menekankan pentingnya peningkatan integritas dan daya tahan industri perbankan, termasuk BPR. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit menjadi kunci utama untuk menghindari risiko yang tidak perlu. Manajemen risiko yang efektif dan tata kelola perusahaan yang baik adalah fondasi bagi keberlanjutan operasional BPR.
Dian Ediana Rae menegaskan bahwa OJK telah memiliki pengaturan spesifik mengenai exit policy. Kebijakan ini dirancang untuk menyelesaikan permasalahan bank, termasuk BPR bermasalah, dengan fokus pada deteksi awal. Identifikasi dini terhadap kondisi BPR atau BPRS yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha menjadi prioritas utama.
Langkah penyehatan juga menjadi bagian integral dari kebijakan ini, bertujuan untuk memperbaiki tingkat solvabilitas dan likuiditas bank. OJK tidak hanya mencabut izin, tetapi juga memberikan kesempatan bagi manajemen bank untuk melakukan upaya perbaikan. Proyeksi jumlah BPR yang akan dicabut izinnya di masa depan sangat bergantung pada efektivitas upaya penyehatan tersebut.
Strategi Konsolidasi dan Proyeksi Industri BPR ke Depan
Saat ini, lebih dari 100 BPR dan BPRS sedang menjalani proses konsolidasi sebagai bagian dari langkah penguatan industri. Konsolidasi ini diatur secara ketat dalam POJK Nomor 7 Tahun 2024. Regulasi tersebut mewajibkan penggabungan atau peleburan bagi BPR/BPRS yang berada dalam satu kepemilikan dan wilayah geografis yang sama.
POJK tersebut secara spesifik menerapkan kewajiban konsolidasi bagi BPR atau BPRS dalam kepemilikan atau pemegang saham pengendali yang sama. Konsolidasi ini berlaku untuk satu grup dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama melalui skema penggabungan atau peleburan. Batas waktu pelaksanaannya adalah paling lama dua tahun atau tiga tahun untuk BPR dan BPRS milik pemerintah daerah.
OJK berkomitmen penuh untuk terus memperkuat struktur dan daya saing industri BPR dan BPRS. Penguatan ini mencakup peluang bagi BPR untuk terlibat dalam sistem pembayaran nasional. Selain itu, akses pendanaan melalui pasar modal juga akan dibuka, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan jangkauan layanan BPR.
Studi Kasus: Pencabutan Izin BPR Dwicahaya Nusaperkasa
Sebagai contoh konkret dari implementasi kebijakan OJK, izin usaha PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Dwicahaya Nusaperkasa, atau Bank Cahaya, telah dicabut. Bank yang beralamat di Jalan Ir. Soekarno No.199, Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur ini, izinnya dicabut melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-47/D.03/2025 tanggal 24 Juli 2025.
Sebelum pencabutan, pada 8 November 2024, OJK telah menetapkan BPR Dwicahaya Nusaperkasa dengan status pengawasan bank dalam penyehatan (BDP). Status ini diberikan karena rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) bank kurang dari 12 persen, dan cash ratio rata-rata selama tiga bulan terakhir kurang dari 5 persen. Selain itu, Tingkat Kesehatan (TKS) bank juga memiliki predikat “kurang sehat”.
Selanjutnya, pada 9 Juli 2025, OJK meningkatkan status BPR Dwicahaya Nusaperkasa menjadi bank dalam resolusi (BDR). Keputusan ini diambil setelah OJK memberikan waktu yang cukup bagi pengurus dan pemegang saham bank untuk melakukan upaya penyehatan. Namun, permasalahan permodalan dan likuiditas tidak dapat diatasi sesuai dengan POJK Nomor 28 Tahun 2023, yang pada akhirnya menyebabkan pencabutan izin usaha.