Terdakwa Korupsi Bantuan Korban Konflik Aceh Divonis Lepas
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis lepas terdakwa Hamdani dalam kasus korupsi bantuan korban konflik Aceh senilai Rp15,7 miliar karena terbukti melakukan pemalsuan dokumen, bukan korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Banda Aceh membuat keputusan mengejutkan pada Jumat lalu. Majelis hakim yang diketuai M Jamil memvonis lepas terdakwa Hamdani, yang sebelumnya didakwa melakukan korupsi bantuan korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Vonis ini dijatuhkan setelah persidangan yang dihadiri terdakwa, penasihat hukumnya, Jaksa Penuntut Umum Zilziliana dan tim dari Kejaksaan Tinggi Aceh.
Kasus ini berpusat pada dugaan korupsi bantuan senilai Rp15,7 miliar dari Badan Reintegrasi Aceh untuk budi daya ikan kakap dan pakan bagi korban konflik pada tahun 2023. Hamdani didakwa terlibat dalam penyimpangan dana tersebut. Namun, putusan majelis hakim menyatakan hal yang berbeda.
Perbedaan mendasar antara vonis lepas dan vonis bebas terletak pada substansi tindak pidana. Majelis hakim berpendapat bahwa meskipun terdakwa terbukti bersalah, perbuatannya tidak termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Hal ini merujuk pada Pasal 191 Ayat (2) KUHAP.
Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam amar putusannya, majelis hakim menjelaskan bahwa Hamdani memang terbukti membuat dokumen administrasi, termasuk akta notaris dan stempel, untuk kelompok masyarakat penerima bantuan. Namun, hakim menekankan bahwa Hamdani tidak mengetahui jika kelompok tersebut digunakan untuk kegiatan fiktif pengadaan budi daya ikan dan pakan. "Terdakwa membuat akta notaris serta stempel kelompok tersebut. Namun, terdakwa tidak mengetahui kelompok tersebut digunakan untuk pekerjaan fiktif pengadaan budi daya ikan dan pakan untuk korban konflik di Kabupaten Aceh Timur," jelas majelis hakim.
Majelis hakim berfokus pada peran Hamdani yang terbatas pada pembuatan dokumen administrasi. Mereka menilai tidak ada bukti yang cukup untuk menyatakan Hamdani terlibat langsung dalam penggelapan dana bantuan tersebut. Perbuatan terdakwa, menurut majelis hakim, hanya sebatas pemalsuan dokumen, bukan korupsi.
Putusan ini tentu saja bertolak belakang dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Hamdani dengan hukuman tujuh tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan penjara, dan uang pengganti kerugian negara Rp10 miliar subsidair tiga tahun sembilan bulan penjara.
Reaksi atas Putusan
Ketidaksesuaian putusan dengan tuntutan jaksa membuat Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi. Sementara itu, terdakwa dan penasihat hukumnya memilih untuk pikir-pikir. Majelis hakim memberikan tenggat waktu tujuh hari bagi terdakwa dan penasihat hukumnya untuk menentukan sikap, apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding.
Kasus ini menyoroti kompleksitas dalam pembuktian kasus korupsi, khususnya ketika melibatkan banyak pihak dan alur transaksi yang rumit. Perbedaan interpretasi hukum antara majelis hakim dan jaksa penuntut umum menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Putusan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai pengawasan dan mekanisme penyaluran bantuan kepada korban konflik. Perlu adanya evaluasi dan peningkatan sistem untuk mencegah terjadinya penyimpangan dana serupa di masa mendatang.