Ketua BRA Divonis 9 Tahun Penjara Kasus Korupsi Bantuan Korban Konflik Aceh
Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri, divonis 9 tahun penjara dan denda Rp200 juta karena korupsi dana bantuan korban konflik di Aceh Timur senilai Rp15,7 miliar.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh telah menjatuhkan vonis sembilan tahun penjara kepada Suhendri, Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), atas kasus korupsi dana bantuan korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Vonis dibacakan pada Kamis, 20 Maret 2023, dan Suhendri terbukti bersalah dalam mengelola anggaran sebesar Rp15,7 miliar yang diperuntukkan bagi korban konflik. Kasus ini melibatkan tiga terdakwa, termasuk Suhendri, dengan total kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Selain hukuman penjara, Suhendri juga diwajibkan membayar denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan, serta uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1 miliar subsider dua tahun penjara. Dua terdakwa lainnya, Zulfikar dan Zamzami, juga menerima vonis penjara dan denda dengan besaran yang berbeda, masing-masing sembilan tahun dan delapan tahun penjara. Ketiganya terbukti menyalahgunakan dana bantuan yang seharusnya diberikan kepada kelompok masyarakat korban konflik di Aceh Timur.
Majelis hakim yang diketuai M. Jamil menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, Ayat (2), Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Fakta persidangan menunjukkan dana bantuan tersebut tidak pernah sampai kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun tetap memberikan hukuman yang signifikan bagi para terdakwa.
Korupsi Dana Bantuan Korban Konflik Aceh Timur
Kasus korupsi ini bermula dari pengelolaan anggaran sebesar Rp15,7 miliar pada tahun 2023 yang ditujukan untuk program budidaya ikan dan pakan ternak bagi masyarakat korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Dana tersebut seharusnya disalurkan kepada sembilan kelompok masyarakat. Namun, menurut majelis hakim, "Bantuan tersebut disalurkan kepala sembilan kelompok masyarakat korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Namun, kelompok masyarakat itu tidak pernah mengajukan maupun menerima bantuan tersebut." Hal ini menunjukkan adanya penyelewengan dana yang dilakukan oleh para terdakwa.
Suhendri, sebagai Ketua BRA, bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran tersebut. Ia bersama dua terdakwa lainnya terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan dana bantuan. Modus operandi yang digunakan masih dalam penyelidikan lebih lanjut, namun fakta persidangan telah cukup membuktikan kesalahannya.
Vonis yang dijatuhkan kepada Suhendri dan dua terdakwa lainnya diharapkan dapat memberikan efek jera dan menjadi peringatan bagi pejabat publik lainnya agar tidak melakukan tindakan korupsi. Kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengelolaan dana bantuan, terutama yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan.
Putusan hakim terhadap ketiga terdakwa lebih rendah daripada tuntutan JPU, yang menuntut hukuman penjara lebih lama dan denda yang lebih tinggi. Baik JPU maupun terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, dan diberikan waktu tujuh hari untuk mengajukan banding atau menerima putusan.
Rincian Vonis dan Tuntutan
- Suhendri (Ketua BRA): Divonis 9 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 4 bulan penjara, uang pengganti Rp1 miliar subsider 2 tahun penjara. JPU menuntut 13 tahun 6 bulan penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp9,2 miliar subsider 9 tahun penjara.
- Zulfikar: Divonis 9 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 4 bulan penjara, uang pengganti Rp1,6 miliar subsider 2 tahun 6 bulan penjara. JPU menuntut 13 tahun 6 bulan penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp1,6 miliar subsider 9 tahun penjara.
- Zamzami: Divonis 8 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 4 bulan penjara, uang pengganti Rp1,7 miliar subsider 1 tahun 6 bulan penjara. JPU menuntut 11 tahun 6 bulan penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp3,7 miliar subsider 5 tahun 9 bulan penjara.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut dana bantuan untuk korban konflik, yang seharusnya digunakan untuk pemulihan dan kesejahteraan mereka. Kejadian ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik.
Proses hukum masih berlanjut, dengan para pihak yang diberi waktu untuk mempertimbangkan putusan tersebut. Publik menantikan langkah selanjutnya dan berharap agar kasus ini dapat memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya korupsi serupa di masa mendatang.