Lima Terdakwa Korupsi Bantuan Korban Konflik Aceh Ajukan Banding
Lima terdakwa kasus korupsi dana bantuan korban konflik di Aceh Timur, termasuk mantan Ketua BRA, mengajukan banding atas vonis hukuman penjara dan denda yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh telah menjatuhkan vonis terhadap lima terdakwa kasus korupsi dana bantuan korban konflik di Kabupaten Aceh Timur, yang dikelola oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Kelima terdakwa, yang terdiri dari mantan Ketua BRA, penghubung kegiatan, pelaksana kegiatan, Kuasa Pengguna Anggaran, dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, kini mengajukan banding atas putusan tersebut. Kasus ini melibatkan dana sebesar Rp15,7 miliar yang seharusnya digunakan untuk program budidaya ikan dan pakan bagi masyarakat korban konflik, namun diduga disalahgunakan.
Perkara ini terungkap setelah proses persidangan yang panjang. Jaksa penuntut umum berhasil membuktikan bahwa dana bantuan yang ditujukan untuk sembilan kelompok masyarakat korban konflik tersebut, nyatanya fiktif. Meskipun anggaran telah dicairkan 100 persen, kelompok-kelompok tersebut tidak pernah mengajukan maupun menerima bantuan yang dimaksud. Modus korupsi yang dilakukan para terdakwa ini menimbulkan kerugian negara yang signifikan.
Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jamaluddin, membenarkan adanya upaya hukum banding yang diajukan oleh para terdakwa melalui kuasa hukum mereka. Selain banding, jaksa penuntut umum juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap satu terdakwa lain yang sebelumnya diputus lepas oleh majelis hakim tingkat pertama. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum dalam kasus ini masih berlanjut dan akan memasuki babak baru di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Vonis Terhadap Para Terdakwa dan Upaya Hukum Banding
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis yang berbeda-beda terhadap kelima terdakwa. Suhendri, mantan Ketua BRA, divonis sembilan tahun penjara, denda Rp200 juta subsidair empat bulan kurungan, dan wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp1 miliar. Zulfikar, terdakwa sebagai penghubung kegiatan, divonis sembilan tahun penjara, denda Rp200 juta subsidair empat bulan penjara, dan wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp1,6 miliar.
Zamzami, selaku pelaksana kegiatan, divonis delapan tahun penjara, denda Rp200 juta subsidair empat bulan kurungan, dan wajib membayar uang pengganti kerugian negara Rp1,7 miliar. Muhammad, selaku Kuasa Pengguna Anggaran, divonis lima tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan. Terakhir, Mahdi, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, divonis empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan. Semua terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, Ayat (2), Ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keputusan para terdakwa untuk mengajukan banding menunjukkan bahwa mereka masih berupaya untuk membela diri dan memperjuangkan hak-hak mereka di mata hukum. Proses banding ini akan membuka kesempatan bagi Pengadilan Tinggi Banda Aceh untuk meninjau kembali putusan pengadilan tingkat pertama dan memberikan keputusan yang lebih adil dan objektif.
Kronologi Kasus Korupsi Bantuan Korban Konflik
Kasus ini bermula dari pengelolaan dana pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan untuk masyarakat korban konflik di Aceh Timur oleh BRA pada tahun 2023. Anggaran yang digelontorkan mencapai Rp15,7 miliar. Namun, berdasarkan fakta-fakta persidangan, bantuan tersebut dinyatakan fiktif karena sembilan kelompok masyarakat korban konflik yang seharusnya menerima bantuan, tidak pernah mengajukan maupun menerima bantuan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan dana yang sangat serius.
Proses pencairan anggaran dilakukan secara penuh (100 persen), meskipun proyek tersebut tidak pernah terealisasi. Modus operandi yang dilakukan para terdakwa ini menunjukkan adanya perencanaan dan kesengajaan dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kejadian ini tentunya menimbulkan kerugian besar bagi negara dan juga mengkhianati kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penyaluran bantuan kepada korban konflik.
Dengan adanya upaya hukum banding yang diajukan oleh para terdakwa, publik menantikan bagaimana Pengadilan Tinggi Banda Aceh akan memutuskan perkara ini. Proses hukum yang transparan dan adil sangat penting untuk memastikan keadilan ditegakkan dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak terkait dalam pengelolaan dana publik, untuk senantiasa mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam setiap prosesnya. Pencegahan korupsi harus menjadi prioritas utama agar dana negara dapat digunakan secara efektif dan tepat sasaran untuk kesejahteraan rakyat.