Kejari Mataram Ungkap Modus Korupsi Bansos Dana Pokir DPRD Senilai Rp6 Miliar
Kejari Mataram mengungkap modus korupsi bansos dana pokir DPRD senilai Rp6 miliar, meliputi kelompok fiktif, pemotongan dana, dan penyaluran tak sesuai aturan.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram tengah mengusut dugaan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) dari dana pokok pikiran (pokir) DPRD Kota Mataram. Nilai anggaran yang diselewengkan mencapai Rp6 miliar. Modus operandi yang ditemukan meliputi pembentukan kelompok fiktif, pemotongan dana bantuan, hingga penyaluran yang tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Mataram, Mardiono, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan banyak kelompok penerima bantuan yang fiktif atau baru dibentuk. Selain itu, ada juga kelompok yang tidak lagi menjalankan usaha setelah menerima bantuan. Praktik pemotongan dana juga menjadi temuan dalam kasus ini.
"Modusnya banyak kelompok fiktif dan yang baru terbentuk. Ada juga kelompok setelah dapat bantuan, tidak berusaha lagi. Ada juga pemotongan penyaluran," kata Mardiono di Mataram, Senin (19/5).
Penyaluran Bansos Tidak Sesuai Prosedur
Kejaksaan menemukan bahwa penyimpangan bermula dari pelaksanaan di Dinas Perdagangan Kota Mataram. Diduga, dinas tersebut menyalurkan bansos tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seharusnya menjadi pedoman.
Salah satu pelanggaran yang ditemukan adalah tidak dilakukannya survei terhadap kelompok penerima bantuan sebelum penyaluran. Padahal, survei merupakan langkah penting untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan penerima.
Nominal bansos yang disalurkan bervariasi, mulai dari Rp2,5 juta hingga Rp50 juta. Bahkan, ada individu yang menerima bantuan hingga Rp50 juta.
Mardiono menyatakan, "Salah satunya tidak dilajukan survei terlebih dahulu terhadap kelompok penerima bantuan."
Unsur Pembiaran dan Kurangnya Pengawasan
Kejari Mataram melihat adanya unsur pembiaran atau kurangnya pengawasan dalam penyaluran bansos ini. Hal ini membuka celah terjadinya pelanggaran pidana.
Menurut Mardiono, pemberian bansos sepenuhnya menjadi kewenangan anggota dewan. Dinas Perdagangan hanya bertugas menyalurkan dana sesuai dengan permohonan yang diajukan.
"Pemberian bansos terserah anggota dewan, siapa yang mau dikasih. Permohonannya di dewan. Dinas perdagangan hanya menyalurkan," jelasnya.
Saat ini, kasus tersebut sudah masuk tahap penyidikan. Kejaksaan fokus pada penguatan alat bukti, terutama dari sisi kerugian negara. Kejari Mataram menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara secara pasti.
Koordinasi dengan BPKP untuk Audit Kerugian Negara
Kejaksaan Negeri Mataram berkoordinasi dengan BPKP Perwakilan NTB untuk melakukan audit dan menghitung kerugian negara akibat korupsi bansos ini. Sebelum audit dilakukan, kejaksaan akan menggelar ekspose perkara dengan pihak auditor.
Meskipun hasil audit belum keluar, Mardiono mengungkapkan bahwa pihaknya telah menemukan potensi kerugian negara mencapai Rp5 miliar dari total anggaran penyaluran Rp6 miliar.
Kasus ini masih terus bergulir dan kejaksaan berupaya mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk menjerat para pelaku korupsi. Masyarakat berharap kasus ini dapat segera diungkap tuntas dan para pelaku dihukum sesuai dengan perbuatannya.