Ketua BRA Dituntut 13,5 Tahun Penjara Terkait Korupsi Bantuan Korban Konflik Aceh
Jaksa tuntut Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri, 13,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta terkait korupsi bantuan korban konflik di Aceh Timur senilai Rp15,7 miliar.

Banda Aceh, 21 Februari 2024 - Suhendri, Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), dituntut hukuman 13 tahun 5 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kasus korupsi bantuan untuk korban konflik di Kabupaten Aceh Timur. Tuntutan tersebut dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh. Kasus ini melibatkan dana bantuan senilai Rp15,7 miliar yang seharusnya disalurkan kepada sembilan kelompok masyarakat korban konflik, namun terbukti fiktif.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut Suhendri membayar denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan, serta uang pengganti kerugian negara sebesar Rp9,2 miliar. Jika Suhendri tak mampu membayar uang pengganti, hartanya akan disita dan dilelang. Jika harta benda tak cukup, ia akan dipidana tambahan sembilan tahun penjara. Perkara ini melibatkan enam terdakwa, dengan tuntutan hukuman bervariasi, menunjukkan skala besar penyelewengan dana bantuan.
Kasus ini terungkap setelah ditemukan bukti bahwa bantuan berupa pengadaan budi daya ikan kakap dan pakan untuk masyarakat korban konflik tersebut bersifat fiktif. Meskipun dana telah dicairkan 100 persen, kelompok masyarakat yang seharusnya menerima bantuan tidak pernah mengajukan maupun menerima dana tersebut. Auditor Inspektorat Aceh menghitung kerugian negara mencapai Rp15,39 miliar setelah dipotong PPh Pasal 22 dan infaq.
Kronologi dan Peran Terdakwa
Suhendri, selaku Ketua BRA periode 2022-2024, bersama lima terdakwa lainnya, terlibat dalam pengadaan fiktif tersebut. Muhammad berperan sebagai Kuasa Penggunaan Anggaran, Mahdi sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di BRA. Zulfikar dan Hamdani bertindak sebagai koordinator kegiatan, sementara Hamdani juga merupakan peminjam perusahaan pelaksana kegiatan. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, Ayat (2), Ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Terdakwa Zulfikar dituntut 13 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp1,6 miliar subsidair sembilan tahun penjara. Empat terdakwa lainnya, yaitu Muhammad (sembilan tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan, dan uang pengganti Rp250 juta subsidair empat tahun enam bulan penjara), Mahdi (delapan tahun enam bulan penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan, dan uang pengganti Rp250 juta subsidair empat tahun enam bulan penjara), Zamzami (11 tahun enam bulan penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan, dan uang pengganti Rp3,7 miliar subsidair lima tahun sembilan bulan penjara), dan Hamdani (tujuh tahun enam bulan penjara, denda Rp500 juta subsidair enam bulan, dan uang pengganti Rp10 juta subsidair tiga tahun sembilan bulan penjara) juga menerima tuntutan hukuman yang bervariasi.
Para terdakwa diduga melakukan penyalahgunaan dana bantuan dengan membuat kegiatan fiktif. Mereka memanfaatkan posisi dan wewenang masing-masing untuk melakukan tindak pidana korupsi ini. Proses pencairan dana dilakukan secara penuh, meskipun kegiatan yang didanai tidak pernah terlaksana. Hal ini menunjukkan adanya perencanaan dan kesengajaan dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Rincian Kerugian Negara dan Tuntutan
Besarnya kerugian negara yang mencapai Rp15,39 miliar menunjukkan dampak signifikan dari tindakan korupsi ini. Dana yang seharusnya digunakan untuk membantu korban konflik justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi para terdakwa. Tuntutan hukuman yang diberikan kepada para terdakwa, khususnya tuntutan 13,5 tahun penjara terhadap Ketua BRA, mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus korupsi, terutama yang merugikan masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Sidang selanjutnya akan dilanjutkan pada Jumat, 28 Februari 2024, dengan agenda mendengarkan nota pembelaan dari para terdakwa dan penasihat hukum mereka. Publik menantikan bagaimana majelis hakim akan mempertimbangkan tuntutan JPU dan pembelaan para terdakwa dalam menentukan putusan akhir.
Kasus ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak terkait pengelolaan dana bantuan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk mencegah terjadinya korupsi dan memastikan bantuan tersebut sampai kepada mereka yang berhak menerimanya.