Terlambatkah Respons Indonesia atas Kebijakan Tarif Trump? Sebuah Analisis
Analisis mendalam mengenai kecepatan dan efektivitas respons Indonesia terhadap kebijakan tarif Presiden Trump, diimbangi dengan strategi diplomasi dan penguatan ekonomi dalam negeri.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif hingga 32 persen terhadap produk ekspor Indonesia, termasuk tekstil, alas kaki, dan komponen elektronik, efektif 9 April 2025. Respons pemerintah Indonesia, yang dijadwalkan disampaikan Presiden Prabowo Subianto hari ini, menuai apresiasi atas kehati-hatiannya namun juga kritik atas kecepatan dan keberanian strategisnya. Perbandingan dengan kecepatan respons negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand menimbulkan pertanyaan: Apakah Indonesia terlambat merespons?
Pendekatan diplomatik dan tidak reaktif memang bijak dalam hubungan internasional. Namun, dalam ekonomi global yang dinamis, waktu menjadi faktor krusial. Keterlambatan Indonesia dalam menyampaikan sikap resmi dapat memberikan kesan kurang sigap dalam melindungi kepentingan ekonomi nasional, terutama bagi jutaan pekerja sektor manufaktur ekspor. Kecepatan respons pemerintah terhadap disrupsi pasar internasional sangat mempengaruhi persepsi investor dan mitra dagang terhadap kredibilitas negara.
Studi 'Business resilience: Lessons from government responses to the global COVID-19 crisis' (Nguyen, Pham, Pham, & Pham, 2023) menekankan peran penting respons cepat dan efektif pemerintah dalam mendukung ketahanan bisnis. Respons tepat waktu, seperti stimulus ekonomi dan bantuan finansial, terbukti membantu perusahaan bertahan dalam krisis. Temuan ini menggarisbawahi dampak kecepatan dan efektivitas respons pemerintah terhadap stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor.
Perbandingan Respons Indonesia dengan Negara Lain
Berbeda dengan Vietnam yang langsung mengirimkan tim negosiator ke Washington dan Thailand yang mengumumkan insentif substitusi pasar ekspor, Indonesia tampak lebih lama dalam penyusunan strategi. Hal ini berdampak pada posisi daya tawar Indonesia dalam persaingan global yang semakin cepat dan real-time. Namun, pendekatan Indonesia yang menolak retaliasi dan memilih jalur diplomasi juga memiliki pertimbangan.
Menko Airlangga menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi, melainkan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi untuk solusi yang saling menguntungkan. Pendekatan ini mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan perdagangan bilateral dan stabilitas ekonomi nasional. Meskipun demikian, keputusan ini berisiko menciptakan asumsi bahwa Indonesia selalu bersikap lunak terhadap tekanan ekonomi.
Strategi "tidak membalas tapi memperkuat dalam negeri" dapat efektif jika diiringi reformasi regulasi nyata dan percepatan diplomasi ekonomi terukur. Reformasi logistik nasional, misalnya, masih menjadi hambatan daya saing produk ekspor Indonesia. Indonesia berada di peringkat 63 dari 139 negara dalam World Bank Logistics Performance Index 2023, jauh di bawah Vietnam (43) dan Thailand (34).
Penguatan Kemandirian Industri Ekspor
Momentum ini seharusnya dimanfaatkan untuk membangun kemandirian industri ekspor. Pembangunan konsorsium ekspor kawasan Asia Tenggara dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dan membuka opsi pasar alternatif. Studi oleh Phi Minh Hong (2021), "The Importance of Export Diversification for Developing ASEAN Economies", menekankan pentingnya diversifikasi ekspor untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan mengurangi volatilitas pendapatan ekspor.
Langkah strategis lainnya adalah mempercepat harmonisasi standar produk ekspor Indonesia dengan pasar non-AS, seperti Uni Eropa dan negara-negara BRICS. Kementerian Perdagangan, BPOM, dan Lembaga Standardisasi Nasional perlu berperan aktif dan koordinatif. Dalam situasi di mana satu pintu mulai tertutup, Indonesia perlu membangun rumah dagang sendiri di tempat lain.
Pemerintah juga perlu membangun narasi yang kuat di hadapan publik internasional, bahwa sikap "tidak membalas" bukan kelemahan, melainkan posisi strategis berdasarkan prinsip kemitraan yang setara dan hukum internasional. Narasi ini perlu dibarengi langkah konkret yang dirasakan pelaku ekspor, UMKM, dan buruh.
Langkah Konkret ke Depan
Sikap resmi Presiden Prabowo harus menjadi titik awal, bukan akhir. Langkah-langkah teknokratis konkret dan terukur harus segera dilakukan. Diplomasi tingkat tinggi harus dilengkapi dengan aktivasi jalur ekonomi tingkat menengah, termasuk memperkuat kapasitas negosiasi duta besar. Reformasi regulasi juga harus menyasar percepatan perizinan ekspor, transparansi rantai pasok, dan insentif fiskal berbasis performa ekspor.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tidak boleh hanya reaktif. Indonesia harus menjadi arsitek ekonomi global baru yang lebih adil dan berkelanjutan. Saatnya Indonesia berbicara lantang, cerdas, dan dengan solusi yang kuat, bukan hanya diam setelah dimarahi.