Urgensi Revisi UU TPPO: Mengapa Pendekatan Berpusat Korban Jadi Kunci Pemberantasan Perdagangan Orang?
Revisi UU TPPO dinilai mendesak untuk mengadopsi pendekatan berpusat korban, seiring modus operandi kejahatan yang kian kompleks. Apa saja poin krusialnya?

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Revisi ini dianggap krusial untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berpusat pada korban kejahatan perdagangan orang.
Menurut Rahayu, UU yang berlaku saat ini lebih banyak menitikberatkan pada aspek penghukuman pelaku daripada pemenuhan kebutuhan dan pemulihan korban. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers usai Diskusi Publik Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia di Jakarta.
Perubahan modus operandi kejahatan perdagangan orang yang semakin beragam dan kompleks, termasuk di ranah digital, menjadi alasan utama urgensi revisi ini. Hal ini mencakup kejahatan seperti penipuan daring dan skema penipuan lainnya yang memanfaatkan teknologi.
Pentingnya Pendekatan Berpusat Korban
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang juga Ketua Jaringan Nasional Anti-Perdagangan Orang, menyoroti bahwa UU TPPO yang berlaku saat ini sudah usang dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Modus operandi pelaku perdagangan orang terus berevolusi, sehingga diperlukan pembaruan hukum yang komprehensif.
Dia menekankan bahwa banyak korban perdagangan orang mencari keadilan, terutama terkait isu-isu jangka panjang yang mereka hadapi. Ini termasuk kebutuhan akan pusat pemulihan di seluruh Indonesia yang dapat membantu korban membangun kembali kehidupan yang produktif dan mandiri.
Komitmen untuk memastikan suara korban didengar menjadi prioritas utama dalam upaya revisi ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih baik bagi mereka yang telah menjadi korban kejahatan keji ini.
Integrasi dan Sinergi Hukum
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menambahkan bahwa revisi UU TPPO akan diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penyelarasan ini khususnya akan berfokus pada dana bantuan korban.
UU yang baru nanti akan memberikan penekanan lebih besar pada restitusi dan kompensasi bagi korban perdagangan orang. Ini merupakan langkah penting untuk memastikan korban mendapatkan hak-hak mereka secara finansial dan non-finansial.
Selain itu, UU TPPO juga akan diintegrasikan dengan Undang-Undang Keimigrasian yang telah mencakup masalah penyelundupan manusia. Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa penanganan perdagangan orang membutuhkan sinergi, kolaborasi, keberanian, dan advokasi yang kuat untuk para korban.