Waketum Golkar: Putusan MK Pemisahan Pemilu Guncang Dunia Politik, Ini Alasannya!
Wakil Ketua Umum Golkar menyoroti Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu yang dinilai mengguncang sistem ketatanegaraan. Simak analisis mendalam dampaknya!

Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, baru-baru ini menyampaikan pandangannya mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi. Keputusan bernomor 135/PUU-XXII/2024 ini mengatur pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Adies Kadir menegaskan bahwa putusan tersebut berpotensi mengguncang stabilitas hukum dan politik di Indonesia. Ia menyampaikan hal ini dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat.
Meskipun sekilas terlihat sebagai solusi sistematis, Adies mengkritisi dampak besar yang mungkin timbul. Pemisahan jadwal pemilu ini menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi konstitusi dan sistem ketatanegaraan.
Inkonsistensi Putusan MK dan Amanat Konstitusi
Adies Kadir menyoroti ketidakselarasan putusan MK dengan Pasal 22E UUD 1945. Pasal ini mengamanatkan pemilihan anggota DPRD setiap lima tahun, sama dengan DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden. Namun, putusan terbaru MK menggabungkan pemilihan anggota DPRD dengan kepala daerah. Penyelenggaraannya ditetapkan dua atau dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR dan presiden.
Selain itu, Putusan Nomor 135 ini dianggap inkonsisten dengan putusan MK sebelumnya. Pada Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK memutuskan keserentakan pilpres dan pileg. Kemudian, Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 menawarkan enam opsi keserentakan pemilu yang konstitusional.
Adies khawatir jika penafsiran konstitusi dapat berubah ekstrem dalam waktu singkat, rakyat akan kehilangan kepastian. Sistem hukum Indonesia juga akan kehilangan pegangan yang jelas. Ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas hukum negara.
Menurutnya, jadwal keserentakan pemilu seharusnya bersifat open legal policy. Kewenangan ini seharusnya berada di tangan pembentuk undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi. MK seharusnya berfungsi sebagai negative legislature, bukan membentuk norma baru.
Potensi Politisasi Birokrasi dan Ancaman Desentralisasi
Pemisahan pemilu nasional dan daerah ini, menurut Adies, berpotensi membuka ruang politisasi birokrasi. Hal ini juga dapat mengancam prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Ia menyatakan kekhawatiran serius terhadap jalannya program pemerintah pusat.
Adies menggambarkan skenario jika presiden terpilih, namun pemilihan kepala daerah baru dilaksanakan dua setengah tahun kemudian. Ini dapat menghambat pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Waktu yang singkat untuk sosialisasi dan pelaksanaan program menjadi tantangan besar.
Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, juga sependapat bahwa jadwal keserentakan pemilu adalah open legal policy. Namun, Mahfud menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, putusan tersebut harus tetap dilaksanakan.
Mahfud menyarankan "rekayasa konstitusional" untuk menjalankan putusan MK Nomor 135. Ia mengemukakan lima alternatif solusi. Alternatif ini meliputi perpanjangan masa jabatan atau pemilu sela untuk DPRD dan kepala daerah.
Alternatif Solusi dan Peringatan Mahfud MD
Lima alternatif rekayasa konstitusional yang diusulkan Mahfud MD mencakup perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah melalui undang-undang. Opsi lain adalah kepala daerah diganti penjabat dan DPRD dipilih melalui pemilu sela. Alternatif ketiga adalah kepala daerah diperpanjang dengan penjabat, sementara DPRD diperpanjang tanpa pemilu sela.
Dua opsi terakhir adalah pemilu sela untuk DPRD dan kepala daerah pada periode peralihan, serta pilkada oleh DPRD. Namun, Mahfud, yang juga mantan Ketua MK, tidak merekomendasikan opsi pilkada oleh DPRD. Ia menilai opsi ini terlalu ekstrem dan dapat memundurkan proses demokrasi.
Mahfud lebih menyukai sistem pemilu langsung seperti yang berlaku saat ini. Namun, ia mengakui bahwa jadwal keserentakan menjadi masalah utama. Implementasi putusan MK ini memerlukan kajian mendalam dan solusi yang cermat.
Pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan langkah-langkah konkret. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan regulasi dan memastikan kelancaran proses demokrasi. Hal ini penting agar tidak terjadi kekosongan hukum atau tumpang tindih kewenangan.