Larangan Study Tour: GIPI Nilai Kebijakan Ini Rugikan Pariwisata Indonesia
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menilai pelarangan study tour oleh beberapa pemerintah daerah berpotensi merugikan sektor pariwisata dan meminta kebijakan tersebut ditinjau kembali.

Jakarta, 22 Maret 2024 (ANTARA) - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyoroti kebijakan pelarangan karyawisata atau study tour yang diterapkan beberapa pemerintah daerah, termasuk Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani, menilai kebijakan ini berpotensi merugikan industri pariwisata nasional. Kebijakan ini diterapkan menyusul meningkatnya kecelakaan yang melibatkan rombongan karyawisata, dengan pertimbangan keselamatan dan efektivitas pembelajaran. Namun, GIPI berpendapat bahwa fokus perbaikan seharusnya pada aspek transportasi, bukan pelarangan total kegiatan wisata sekolah.
Hariyadi menekankan bahwa jika keselamatan menjadi perhatian utama, maka solusi yang tepat adalah meningkatkan standar keamanan transportasi, bukan menghentikan seluruh kegiatan study tour. Ia menyatakan, "Kalau yang salah itu dipandang adalah operator transportasi daratnya yang dipenalti, bukannya program study tour yang dipermasalahkan." Menurutnya, kebijakan ini justru tidak menyelesaikan masalah inti dan malah berdampak negatif pada sektor pariwisata yang selama ini mengandalkan kunjungan pelajar sebagai salah satu sumber pendapatan.
GIPI menyarankan agar kebijakan mengenai karyawisata disesuaikan dengan program sekolah dan kemampuan siswa. Jika sekolah ingin mengadakan karyawisata ke luar daerah atau luar negeri, seharusnya tidak ada larangan. Hariyadi pun meminta pemerintah daerah yang telah memberlakukan larangan untuk mempertimbangkan kembali dan mencabut kebijakan tersebut. Ia berharap agar fokus utama diarahkan pada peningkatan keselamatan transportasi dan pengawasan operator yang bertanggung jawab.
Dampak Pelarangan Study Tour terhadap Industri Pariwisata
Pelarangan study tour berdampak signifikan terhadap industri pariwisata. Banyak pelaku usaha pariwisata, seperti hotel, restoran, dan penyedia jasa transportasi, yang bergantung pada kunjungan pelajar. Penghentian mendadak kegiatan ini menyebabkan penurunan pendapatan dan berpotensi menimbulkan PHK. GIPI berharap pemerintah dapat mencari solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, yang tidak hanya fokus pada aspek keselamatan tetapi juga mempertimbangkan dampak ekonomi pada sektor pariwisata.
Selain itu, pelarangan ini juga berdampak pada sektor pendidikan. Study tour merupakan bagian penting dari proses pembelajaran, memberikan pengalaman langsung dan memperluas wawasan siswa. Menghapus kegiatan ini akan mengurangi kesempatan belajar di luar kelas dan berpotensi menghambat perkembangan siswa secara holistik. Oleh karena itu, perlu dicari solusi yang menyeimbangkan aspek keselamatan, pendidikan, dan ekonomi.
GIPI berharap pemerintah dapat berdialog dengan para pemangku kepentingan, termasuk sekolah, operator transportasi, dan pelaku usaha pariwisata, untuk mencari solusi yang tepat. Solusi tersebut harus mampu menjamin keselamatan siswa tanpa mengorbankan manfaat pendidikan dan ekonomi dari kegiatan study tour. Kerjasama dan koordinasi yang baik antar berbagai pihak sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Peran Operator Transportasi dalam Menjamin Keselamatan
Sekretaris Jenderal DPP Organda, Ateng Aryono, turut memberikan pandangannya. Ia mengakui bahwa keselamatan memang harus menjadi prioritas utama dalam sektor transportasi pariwisata. Namun, ia juga menyoroti praktik beberapa operator angkutan yang mengabaikan standar keselamatan demi menekan harga dan meraih keuntungan lebih besar. Ateng menyatakan, "Senjata kompetitifnya adalah pricing umumnya, dan pricing itu mereka biasanya akan melakukan dengan upaya menekan harga serendah mungkin dan akhirnya itu menjadikan pengabaian di beberapa aspek keamanan."
Ateng menekankan pentingnya pengawasan ketat dari lembaga pemberi izin terhadap operator angkutan. Pemantauan dan inspeksi berkala perlu dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan. Keselamatan, menurutnya, bukan hanya sekadar peraturan, tetapi harus menjadi bagian integral dari budaya operasional setiap perusahaan transportasi. Ia berharap agar semua pihak dapat bekerja sama untuk memperbaiki sistem dan meminimalisir kecelakaan, sehingga industri pariwisata tetap dapat tumbuh dan berkembang.
Meskipun beberapa operator memang mengabaikan aspek keselamatan, Ateng juga mengakui bahwa banyak operator yang bertanggung jawab dan telah memenuhi seluruh perizinan terkait kelaikan jalan kendaraan. Oleh karena itu, pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum menjadi kunci untuk memastikan keselamatan dan keberlangsungan industri pariwisata.
Kesimpulannya, permasalahan keselamatan dalam study tour harus ditangani secara komprehensif dengan melibatkan semua pihak terkait. Fokus perbaikan harus diarahkan pada peningkatan standar keselamatan transportasi dan pengawasan operator, bukan dengan melarang kegiatan study tour secara keseluruhan. Hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan industri pariwisata dan memastikan manfaat pendidikan dari kegiatan tersebut tetap terjaga.