165 Cambukan untuk Dua Terdakwa Kasus Liwat di Banda Aceh
Mahkamah Syariah Banda Aceh menjatuhkan hukuman 165 cambukan kepada dua terdakwa kasus liwat, Delmaza Ahmad (80 cambukan) dan Apis Irawan (85 cambukan), berdasarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
Banda Aceh, 24 Februari 2025 - Sebuah putusan mengejutkan datang dari Mahkamah Syariah Banda Aceh. Dua terdakwa kasus liwat, Delmaza Ahmad dan Apis Irawan, divonis dengan hukuman cambuk yang cukup berat, totalnya mencapai 165 kali. Vonis ini dibacakan pada Senin, 24 Februari 2025, di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Sakwanah, didampingi Said Safnizar dan Mujihendra. Kasus ini melibatkan dua pria yang terbukti melakukan hubungan sesama jenis, sebuah tindakan yang melanggar Qanun Aceh.
Delmaza Ahmad dijatuhi hukuman 80 cambukan, sementara Apis Irawan menerima hukuman yang sedikit lebih berat, yaitu 85 cambukan. Kedua terdakwa hadir di persidangan didampingi penasihat hukum mereka, disaksikan oleh jaksa penuntut umum Alfian dari Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Putusan ini berdasarkan Pasal 63 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat, yang secara tegas mengatur tentang pelanggaran syariat Islam terkait hubungan sesama jenis.
Proses persidangan mempertimbangkan berbagai faktor yang memberatkan dan meringankan hukuman. Majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan kedua terdakwa, yang merupakan warga negara Indonesia dan muslim, telah melanggar syariat Islam dan berulang kali dilakukan. Perbuatan tersebut juga dinilai meresahkan masyarakat. Lebih lanjut, Apis Irawan dianggap turut serta menyediakan tempat untuk berlangsungnya perbuatan tersebut. Namun, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, seperti pengakuan kedua terdakwa, catatan bersih mereka, usia muda, dan masa depan yang masih panjang. "Kedua terdakwa juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya," demikian pernyataan majelis hakim.
Vonis Di Terima Kedua Belah Pihak
Baik terdakwa, Delmaza Ahmad dan Apis Irawan, beserta penasihat hukum mereka, menyatakan menerima putusan tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh jaksa penuntut umum yang turut menerima putusan majelis hakim. Dengan demikian, proses hukum atas kasus ini telah mencapai titik akhir. Putusan ini menimbulkan beragam reaksi di masyarakat, dengan sebagian pihak yang mendukung penerapan Qanun Aceh dan sebagian lainnya yang mempertanyakan proporsionalitas hukuman yang dijatuhkan.
Penangkapan kedua terdakwa dilakukan oleh warga pada 7 November 2024 di sebuah indekos di kawasan Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Saat ditangkap, keduanya ditemukan dalam keadaan tidak berbusana. Kejadian ini kemudian dilaporkan kepada pihak berwajib dan berujung pada proses hukum yang akhirnya menghasilkan putusan 165 cambukan tersebut.
Kasus ini menyoroti penerapan Qanun Jinayat di Aceh dan menimbulkan perdebatan mengenai hak asasi manusia dan penegakan hukum. Hukuman cambuk yang dijatuhkan merupakan salah satu bentuk sanksi yang diatur dalam Qanun tersebut. Perdebatan ini akan terus berlanjut, mengingat perbedaan pandangan mengenai penerapan hukum Islam di Indonesia.
Pertimbangan Hukum dan Reaksi Masyarakat
Putusan Mahkamah Syariah Banda Aceh ini didasari oleh Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun ini mengatur berbagai jenis pelanggaran syariat Islam dan memberikan sanksi, termasuk hukuman cambuk. Penerapan Qanun ini seringkali menjadi perdebatan, terutama terkait dengan hak asasi manusia dan kebebasan individu.
Di satu sisi, pendukung Qanun berpendapat bahwa ini merupakan upaya untuk menegakkan syariat Islam dan menjaga moralitas masyarakat Aceh. Namun, di sisi lain, kritik muncul mengenai proporsionalitas hukuman dan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas penerapan hukum di Indonesia, khususnya dalam konteks hukum Islam dan hak asasi manusia.
Reaksi masyarakat terhadap putusan ini beragam. Beberapa pihak mendukung putusan tersebut sebagai bentuk penegakan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam di Aceh. Sebagian lainnya mempertanyakan apakah hukuman cambuk merupakan solusi yang tepat dan proporsional untuk kasus ini. Perdebatan ini mencerminkan perbedaan pandangan dan interpretasi hukum yang berlaku di Aceh.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya diskusi publik yang lebih luas mengenai penerapan Qanun Jinayat dan dampaknya terhadap masyarakat. Perlu adanya pemahaman yang komprehensif dan keseimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak dialog dan diskusi yang konstruktif untuk mencari solusi yang bijak dan adil dalam menangani kasus-kasus serupa. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum di Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.