Bentrok Pilkada Puncak Jaya: Komisi II DPR Desak Proses Pidana, Revisi UU Pilkada Disorot
Bentrokan berujung korban jiwa dalam PSU Pilkada Puncak Jaya, Papua Tengah, mendorong Komisi II DPR RI mendesak proses hukum pidana dan revisi UU Pilkada untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa.
Jakarta, 7 April 2024 - Bentrokan dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian material, telah menjadi sorotan Komisi II DPR RI. Ketua Komisi II, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan perlunya penanganan hukum pidana terhadap para pelaku bentrokan tersebut. Peristiwa ini terjadi pada Rabu, 2 April 2024, dan mengakibatkan puluhan luka-luka serta kerusakan bangunan. Insiden ini juga menyorot pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan pilkada di Indonesia, khususnya di daerah rawan konflik seperti Papua.
Rifqinizamy Karsayuda menyatakan, "Bentrokan yang terjadi adalah konflik politis yang menyebabkan warga menjadi korban." Ia mendesak aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, untuk memastikan keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pelaksanaan PSU bukan hanya tanggung jawab penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan. Kegagalan dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama proses PSU menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem yang perlu segera diperbaiki.
Anggota Komisi II DPR RI ini juga menyoroti pentingnya evaluasi mendasar terhadap pelaksanaan kampanye dan pilkada di berbagai daerah, terutama di Papua yang kerap kali diwarnai konflik hingga berujung kematian. "Hal ini saya kira akan menjadi bagian penting dalam rangka pembahasan revisi undang-undang paket politik, termasuk di dalamnya terkait dengan Undang-Undang Pilkada di Komisi II DPR RI," tegas Rifqi.
Desakan Proses Pidana dan Revisi UU Pilkada
Komisi II DPR RI mendesak agar kasus bentrokan di Puncak Jaya diusut tuntas dan dibawa ke ranah pidana. Hal ini untuk memberikan efek jera dan mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. Polres Puncak Jaya telah melaporkan adanya 59 orang luka akibat terkena panah dan delapan rumah serta honai yang ludes terbakar dalam bentrokan tersebut. Kapolres Puncak Jaya, AKBP Kuswara, menyatakan bahwa bentrokan tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda.
Data dari Satgas Operasi Damai Cartenz menunjukkan dampak yang lebih besar dari konflik tersebut. Sejak 27 November 2024 hingga 4 April 2025, tercatat 12 warga tewas, 658 luka-luka, dan 201 bangunan rumah dibakar. Angka-angka ini menggambarkan betapa seriusnya situasi yang terjadi dan betapa mendesaknya perlunya tindakan tegas untuk mencegah eskalasi konflik lebih lanjut.
Menyikapi situasi ini, Komisi II DPR RI tengah mempertimbangkan dua ide terkait perubahan sistem pilkada. Pertama, pilkada yang dipilih oleh DPRD setempat, dan kedua, pilkada yang dilaksanakan secara asimetris, di mana setiap daerah memiliki cara dan mekanisme pilkada tersendiri yang disesuaikan dengan berbagai variabel, termasuk tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi Sistem Pilkada dan Pencegahan Konflik
Rifqi menjelaskan, sistem pilkada asimetris dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan pilkada di daerah-daerah dengan karakteristik yang berbeda. Sistem ini memungkinkan penyesuaian mekanisme pilkada sesuai dengan kondisi spesifik masing-masing daerah, sehingga diharapkan dapat meminimalisir potensi konflik. Evaluasi sistem pilkada yang komprehensif menjadi sangat penting untuk mencegah terulangnya peristiwa kekerasan seperti yang terjadi di Puncak Jaya.
Peristiwa di Puncak Jaya menjadi bukti nyata perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pilkada di Indonesia. Komisi II DPR RI berharap revisi UU Pilkada dapat menghasilkan sistem yang lebih efektif, demokratis, dan mampu mencegah terjadinya konflik dan kekerasan dalam setiap tahapan pilkada. Proses revisi ini diharapkan dapat mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk partisipasi masyarakat, pengawasan pemilu, dan penegakan hukum.
Langkah-langkah konkret untuk mencegah konflik serupa di masa depan perlu diimplementasikan secara serius. Hal ini mencakup peningkatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pilkada yang damai dan demokratis, serta penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. Selain itu, perlu juga adanya kerjasama yang erat antara pemerintah, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama proses pilkada.
Kejadian ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pilkada agar lebih responsif terhadap keragaman kondisi di Indonesia. Dengan revisi UU Pilkada yang komprehensif dan implementasi yang efektif, diharapkan pilkada di masa mendatang dapat berjalan dengan aman, damai, dan demokratis.