Budayawan Bogor Serukan Penguatan Kearifan Lokal Usai Kirab Mahkota Binokasih
Kirab Mahkota Binokasih di Bogor dilihat sebagai momentum kebangkitan nilai-nilai lokal dan kearifan budaya Sunda, mendorong edukasi dan pelestarian peradaban.
Kabupaten Bogor, 22 April 2025 - Kirab Mahkota Binokasih Sanghyang Pake di Cibinong, Kabupaten Bogor pada 21-22 April 2025, telah memicu respon positif dari berbagai pihak, termasuk budayawan Bogor, Ediana Hadi Nata. Ediana menyerukan penguatan kearifan lokal sebagai dampak positif dari kegiatan budaya tersebut. Mahkota sakral yang selama ratusan tahun dijaga Keraton Sumedang Larang akhirnya diperlihatkan ke publik, menandai sebuah momentum penting bagi pelestarian budaya Sunda.
Ediana, yang sebelumnya vakum dari kegiatan kebudayaan, menyatakan bahwa Kabupaten Bogor kini menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap warisan budayanya. Ia melihat kirab mahkota bukan sekadar atraksi budaya semata, melainkan simbol kebangkitan nilai-nilai lokal yang sempat tergeser oleh arus zaman. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan acara tersebut.
"Kalau menurut pengamatan Abah, sekarang ada harapan. Ini bukan cuma keren-kerenan, tetapi tanda kebangkitan kearifan lokal," ungkap Ediana. Pernyataan ini menekankan pentingnya melihat kirab mahkota sebagai bagian dari upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal yang berkelanjutan, bukan hanya sebagai sebuah event sesaat.
Mahkota Binokasih: Simbol Kasih dan Pemersatu Sunda
Mahkota Binokasih, sarat makna sebagai simbol kasih, asih, dan asuh dalam peradaban Sunda, menjadi fokus utama dalam kirab budaya tersebut. Ediana menilai, kirab ini menjadi momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang selama ini mungkin terabaikan. Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara budaya dan agama dalam kehidupan masyarakat.
"Budaya dan agama itu seperti dua kaki, harus seiring sejalan. Tidak bisa hanya satu yang dominan," tegas Ediana, yang juga dikenal sebagai ahli tempa kujang dan pakar metalurgi. Pernyataan ini menyoroti pentingnya menjaga harmoni antara aspek spiritual dan kultural dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Mahkota yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja ini diyakini sebagai simbol pemersatu. Ediana menjelaskan bahwa Sunda bukan hanya sekadar etnis atau bangsa, melainkan juga ajaran hidup yang mendunia. Nilai-nilai kearifan lokal seperti ramah tamah dan gotong royong perlu dibangkitkan kembali untuk memperkuat identitas dan jati diri masyarakat Sunda.
"Perilaku Sunda itu ramah tamah. Itu yang harus dibangkitkan. Binokasih adalah simbol kasih yang membina, bukan berperang. Filosofinya asah, asih, asuh, dari bawah sampai atas. Pemimpin harus turun ke bawah, edukasi rakyat secara langsung," jelasnya. Hal ini menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang melayani dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Pelestarian Peradaban Sunda dan Peran Pemerintah
Radya Anom Luky Djohari Soemawilaga, pewaris Kerajaan Sumedang Larang, melihat kirab Mahkota Binokasih sebagai upaya edukasi dan pelestarian peradaban Sunda. Ia menekankan pentingnya menjaga kontinuitas sejarah dan budaya Sunda di wilayah Bogor.
"Mahkota ini bagi kami adalah nilai luhur yang mencerminkan peradaban. Sejarah Sunda di Bogor tidak boleh terputus. Kehadiran kami untuk memberikan khasanah budaya yang berkesinambungan," kata Radya Anom. Pernyataan ini menunjukkan komitmen untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya bagi generasi mendatang.
Radya Anom juga menyoroti peran Bupati Bogor, Rudy Susmanto, yang merupakan bagian dari trah Sumedang Larang. Ia berharap kepemimpinan Rudy dapat mengintegrasikan nilai-nilai luhur tersebut ke dalam praktik pemerintahan.
"Alhamdulillah, hari ini Kabupaten Bogor dipimpin oleh Bapak Bupati yang merupakan putra dari trah Sumedang Larang. Maka dengan kesempatan ini, kami menitipkan spirit keagungan mahkota yang dikasihi sayang untuk digunakan dalam kepemimpinan beliau," ujarnya. Hal ini menunjukkan harapan agar nilai-nilai budaya dapat diimplementasikan dalam kebijakan dan tata kelola pemerintahan.
Ediana optimistis bahwa dengan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur tersebut, masa depan budaya Sunda akan cerah. Ia menyayangkan narasi masa lalu yang kerap menggambarkan leluhur Sunda sebagai masyarakat primitif. Padahal, peradaban Sunda telah ada sejak 2.500 tahun sebelum Masehi, jauh lebih maju dan beradab daripada anggapan tersebut.
"Padahal peradaban Sunda sudah ada sejak 2.500 tahun sebelum Masehi. Itu bukan primitif, itu leluhur kita yang lebih dulu membangun etika dan adab. Ini saatnya kita tata ulang budaya, seperti orang tua kita dulu saling silaturahim, saling menghargai, saling bantu," ujarnya penuh semangat. Pernyataan ini menjadi penutup yang penuh harapan akan masa depan budaya Sunda yang lebih baik.