DKPP Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Komisioner KPU Teluk Bintuni
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang dugaan pelanggaran etik terhadap Komisioner KPU Teluk Bintuni terkait penghentian input dokumen dukungan bakal calon perseorangan.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Teluk Bintuni, Papua Barat. Sidang yang digelar di Kantor Bawaslu Provinsi Papua Barat, Manokwari, Selasa (25/2), menangani perkara nomor 241-PKE-DKPP/X/2024. Perkara ini dilaporkan oleh Manuel Horna dan Bahmudin Fimbay, pasangan bakal calon kepala daerah Teluk Bintuni jalur perseorangan.
Pengadu, Manuel Horna dan Bahmudin Fimbay, mendalilkan bahwa komisioner KPU Teluk Bintuni telah merampas hak konstitusional mereka dengan menghentikan proses input dokumen syarat dukungan di aplikasi Silon. Mereka menilai penghentian tersebut dilakukan sebelum batas waktu yang ditentukan, yakni pukul 23.59 WIT pada 18 Juni 2024, sehingga banyak dokumen dukungan yang tidak terinput. Teradu dalam kasus ini adalah Ketua KPU Teluk Bintuni, Muhammad Makmur Memed Alfajri, tiga anggota KPU Teluk Bintuni lainnya (Deni Dorinus Airory, Ansyar, Eko Priyo Utomo), Sekretaris KPU Teluk Bintuni (Syahid Bin Muzaat), serta sejumlah pejabat dan staf KPU Teluk Bintuni.
Sidang dipimpin oleh anggota DKPP RI J. Kristiadi, bersama anggota Eduard Kuway (unsur masyarakat), Endang Wulansari (unsur KPU), dan Menahen Sebarofek (unsur Bawaslu). Dalam persidangan, Ketua Hakim DKPP J. Kristiadi menyatakan bahwa poin utama yang dipermasalahkan adalah dugaan penghentian proses input dokumen dukungan di aplikasi Silon oleh teradu pada pukul 19.50 WIT, 18 Juni 2024, saat tahap perbaikan pertama. Hal ini dinilai merugikan pengadu karena waktu yang seharusnya tersedia hingga pukul 23.59 WIT.
Kronologi dan Poin-Poin Penting Persidangan
Sidang DKPP mendengarkan keterangan dari berbagai pihak, termasuk pengadu, teradu, saksi, dan KPU Provinsi Papua Barat. Proses persidangan difokuskan pada kronologi kejadian dan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Pengadu menekankan bahwa penghentian input data sebelum batas waktu telah merugikan upaya mereka untuk memenuhi syarat pendaftaran sebagai calon bupati dan wakil bupati. Sementara itu, teradu memberikan penjelasan dan pembelaan atas tindakan yang telah mereka ambil.
Salah satu poin penting yang dibahas adalah perbedaan persepsi mengenai batas waktu input data di aplikasi Silon. Pengadu berpendapat bahwa batas waktu adalah pukul 23.59 WIT, sementara teradu mungkin memiliki interpretasi berbeda. Persidangan berusaha untuk mengklarifikasi perbedaan persepsi ini dan menilai apakah tindakan teradu telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
DKPP juga mendengarkan keterangan terkait teknis aplikasi Silon dan prosedur yang seharusnya diikuti oleh KPU Teluk Bintuni dalam proses verifikasi dan input data dukungan bakal calon perseorangan. Aspek teknis ini penting untuk menilai apakah teradu telah menjalankan tugas dan wewenang mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kesempatan Terakhir dan Harapan Pengadu
Setelah mendengarkan keterangan dari semua pihak, DKPP akan memutuskan perkara ini melalui musyawarah anggota. Sebelum keputusan final dikeluarkan, DKPP memberikan kesempatan kepada pengadu dan teradu untuk menyampaikan kesimpulan atau keterangan tambahan secara tertulis dalam waktu dua hari setelah penutupan persidangan. Ketua Hakim DKPP, J. Kristiadi, menekankan bahwa keputusan yang diambil akan mempertimbangkan aspek hukum, aturan, dan rasa keadilan. Beliau juga menyoroti pentingnya peran semua pihak yang terlibat dalam pemilu untuk mengakomodir suara rakyat.
Di akhir sidang, pengadu, Manuel Horna, menyampaikan harapan agar DKPP memutuskan perkara ini seadil-adilnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kasus ini bagi pengadu dan harapan mereka untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Proses persidangan ini menjadi sorotan penting dalam mengawal integritas penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Keputusan DKPP nantinya akan menjadi preseden penting dalam penegakan kode etik penyelenggara pemilu dan perlindungan hak-hak konstitusional para calon peserta pemilu.