DPR Tekankan Restorasi Ekologis Pascatambang: Pemulihan Lingkungan, Bukan Sekadar Penutupan Lubang
Komisi XII DPR mendesak prioritas restorasi ekologis pascatambang untuk pemulihan lingkungan yang menyeluruh, bukan hanya reklamasi teknis, serta pengawasan ketat dana jaminan pascatambang.
Anggota Komisi XII DPR RI, Mukhtarudin, menyoroti pentingnya restorasi ekologis pascatambang sebagai prioritas utama bagi pelaku usaha pertambangan. Pernyataan ini disampaikan di Jakarta pada Kamis, 15 Mei 2023. Ia menekankan bahwa pemulihan lingkungan harus lebih dari sekadar reklamasi teknis; restorasi harus mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh, termasuk fungsi ekologis, air, tanah, vegetasi, dan keanekaragaman hayati.
Mukhtarudin menjelaskan, "Restorasi ekologis bukan sekadar menutup lubang bekas tambang atau menanam pohon, yang kita butuhkan adalah pemulihan fungsi ekologis, air, tanah, vegetasi, dan keanekaragaman hayati yang benar-benar hidup kembali." Pernyataan tegas ini menekankan perlunya pendekatan holistik dalam upaya pemulihan lingkungan pascatambang.
Anggota komisi yang membidangi energi dan sumber daya mineral, lingkungan hidup, dan investasi ini juga menyoroti banyaknya lokasi bekas tambang yang terbengkalai. Kondisi ini disebabkan oleh perusahaan yang telah pailit atau yang lalai menjalankan kewajiban pascatambang sesuai ketentuan. Hal ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan dan kebutuhan akan penguatan regulasi berbasis keberlanjutan.
Pengawasan Ketat dan Akuntabilitas Dana Jaminan
Mukhtarudin mendorong pengawasan yang transparan dan akuntabel terhadap pemanfaatan dana jaminan pascatambang. Ia juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan untuk memperkuat koordinasi dalam mengawasi proses pemulihan lingkungan. Ketiadaan pengawasan yang efektif berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan yang terus berlanjut dan merugikan masyarakat sekitar.
Legislator dari Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah ini menekankan pentingnya pembelajaran dari praktik restorasi terbaik yang telah dilakukan beberapa perusahaan. Praktik tersebut, seperti revegetasi berbasis spesies lokal dan pengembangan Taman Keanekaragaman Hayati (Taman Kehati), perlu direplikasi secara luas, terutama di daerah dengan kerusakan lingkungan tinggi akibat pertambangan.
Mukhtarudin menambahkan, "Banyak IUP (izin usaha pertambangan) yang meninggalkan lubang tambang begitu saja, dan masyarakat sekitar menanggung risiko ekologisnya. Negara tidak boleh membiarkan ini terus terjadi." Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi tindakan nyata untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak negatif pertambangan.
Integrasi Prinsip ESG dan Evaluasi Izin Tambang
Lebih lanjut, Mukhtarudin mendorong integrasi prinsip berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG/Environmental, Social, and Governance) ke dalam sistem insentif dan pembiayaan di sektor tambang. Hal ini bertujuan untuk memastikan investasi di sektor ini berpihak pada keberlanjutan, bukan hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Penerapan prinsip ESG diharapkan dapat mendorong perusahaan pertambangan untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat.
Ia juga menegaskan pentingnya menjadikan restorasi ekologis sebagai indikator utama dalam evaluasi izin usaha pertambangan. "Kalau tidak mampu memulihkan lingkungan, ya jangan diberi kelonggaran izin," tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan komitmen DPR untuk memastikan perusahaan pertambangan menjalankan tanggung jawab lingkungannya.
Kesimpulannya, restorasi ekologis pascatambang bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga menjadi tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Penguatan regulasi, pengawasan yang ketat, dan penerapan prinsip ESG menjadi kunci keberhasilan dalam upaya pemulihan lingkungan pascatambang di Indonesia.
Dengan demikian, upaya restorasi ekologis yang komprehensif dan berkelanjutan sangat penting untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut dan memastikan pembangunan berkelanjutan di sektor pertambangan Indonesia.