Hari Kartini: Refleksi atas Rentannya Perempuan di Ruang Publik, Termasuk Fasilitas Kesehatan
Peringatan Hari Kartini menjadi momentum refleksi atas masih rentannya perempuan di ruang publik, termasuk fasilitas kesehatan, di mana kasus kekerasan seksual oleh tenaga medis tengah menjadi sorotan.
Peringatan Hari Kartini setiap 21 April menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjuangan emansipasi dan kesetaraan gender di Indonesia. Namun, realitanya, cita-cita Raden Ajeng Kartini untuk kesetaraan perempuan masih jauh dari tercapai. Banyak perempuan masih hidup dalam ketakutan karena ancaman dan kekerasan yang mengintai, bahkan di tempat yang seharusnya aman.
Hak untuk hidup aman merupakan hak asasi manusia paling fundamental. Ironisnya, berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan terus terungkap, menunjukkan lemahnya perlindungan bagi mereka. Kekerasan bahkan terjadi di fasilitas kesehatan, tempat yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan, dilakukan oleh tenaga medis yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kesehatan dan keselamatan pasien.
Kasus pelecehan seksual oleh tenaga medis belakangan ini menjadi sorotan. Beberapa kasus melibatkan dokter yang menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan pasien. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keamanan dan perlindungan perempuan di ruang publik, khususnya di fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan terpercaya.
Pelecehan oleh Tenaga Medis: Kasus yang Mengkhawatirkan
Sejumlah kasus pelecehan seksual oleh tenaga medis terhadap pasien atau keluarga pasien telah terungkap. Contohnya, kasus dokter residen di Bandung yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien. Kemudian, kasus dokter kandungan di Garut yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap ibu hamil, terekam CCTV dan viral di media sosial. Di Malang, seorang dokter juga diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasien. Terbaru, seorang dokter PPDS di Jakarta ditetapkan sebagai tersangka karena merekam mahasiswi yang sedang mandi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membantu korban, termasuk pemenuhan kebutuhan, pendampingan hukum, dan pemulihan. Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menyatakan bahwa kasus-kasus ini menjadi alarm bahwa ruang publik belum sepenuhnya aman bagi perempuan. Ia menekankan perlunya sinergi berbagai pihak untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap perempuan. "Inilah yang sedang kita cari solusi bersama. Seperti pesan Pak Presiden, bahwa satu persoalan tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja," kata Arifah.
Meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, implementasinya belum optimal. Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, menyatakan bahwa belum ada kebijakan khusus terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di fasilitas kesehatan.
Rumah sakit atau fasilitas kesehatan, yang seharusnya menjadi tempat aman, ternyata masih memiliki celah keamanan. Relasi kuasa antara tenaga medis dan pasien menciptakan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kekerasan seksual dengan memanfaatkan situasi ketergantungan pasien.
Relasi Kuasa dan Masyarakat Patriarki: Akar Masalah
Komnas Perempuan mencatat 15 kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan antara tahun 2020-2024, sebagian besar dilakukan oleh dokter kepada pasien. Ketimpangan gender dan masyarakat patriarki masih menjadi akar masalah, di mana laki-laki memiliki kuasa lebih atas perempuan. Perempuan seringkali disubordinasi dan diobyektifikasi.
Momentum Hari Kartini seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan emansipasi, kesetaraan, dan perlindungan perempuan belum usai. Negara, masyarakat, dan semua pihak harus memastikan perempuan dapat hidup aman dan bermartabat tanpa rasa takut, termasuk saat mengakses layanan kesehatan.
Perlu adanya peningkatan pengawasan, edukasi, dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di fasilitas kesehatan. Selain itu, perlu juga upaya untuk mengubah budaya patriarki dan menciptakan lingkungan yang lebih setara dan aman bagi perempuan.
Kasus-kasus ini menjadi bukti nyata bahwa perjuangan kesetaraan gender masih panjang dan membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak. Perempuan berhak mendapatkan perlindungan dan keamanan di semua ruang publik, termasuk fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan terlindungi.