Kajati Sulsel Setujui Restorative Justice Kasus Penganiayaan di Takalar
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyetujui penerapan keadilan restoratif (RJ) pada kasus penganiayaan di Takalar yang melibatkan tersangka Kasma dan korban RT, setelah mempertimbangkan berbagai faktor seperti perdamaian dan syarat Perja nomor 15.
Kasus penganiayaan antar keluarga di Takalar, Sulawesi Selatan, menemukan titik terang setelah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan, Agus Salim, menyetujui penerapan keadilan restoratif (RJ) atau restorative justice. Peristiwa ini melibatkan tersangka Kasma Binti Jarre (41) yang menganiaya sepupunya, RT (26), bermula dari dugaan penghinaan di media sosial Facebook. Peristiwa tersebut terjadi pada Minggu, 20 Oktober 2024, di Dusun Salekowa, Desa Towata, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar. Keputusan ini diambil setelah Kajati mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk perdamaian antara kedua belah pihak dan persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020.
Proses RJ ini diajukan oleh Kejaksaan Negeri Takalar. Kajati Agus Salim menyatakan, "Kita sudah melihat testimoni korban, tersangka dan keluarga. Telah memenuhi ketentuan Perja nomor 15, korban sudah memaafkan tersangka. Atas nama pimpinan, kami menyetujui permohonan RJ yang diajukan." Pernyataan ini disampaikan saat ekspos daring bersama Kejaksaan Negeri Takalar di Aula kantor Kejati Sulawesi Selatan, Makassar, Rabu.
Sebelum disetujui RJ, tersangka Kasma sempat ditahan di Rutan Takalar karena melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana tentang penganiayaan. Penganiayaan tersebut terjadi karena tersangka merasa dihina oleh korban melalui status Facebook. Konflik antara keduanya telah berlangsung lama, bahkan sejak korban berpacaran dengan suami tersangka. Puncaknya, tersangka menghalangi laju sepeda motor korban, yang kemudian berujung pada pertengkaran dan penganiayaan.
Kronologi Penganiayaan dan Alasan Persetujuan RJ
Kasus ini bermula dari pertengkaran antara tersangka dan korban di media sosial yang berlanjut hingga pertemuan langsung. Tersangka memukuli korban sebanyak tiga kali di wajah dan mencakarnya dua kali hingga korban terjatuh dari sepeda motornya. Akibatnya, RT mengalami luka lecet dan memar di wajah. Kejadian ini kemudian dilaporkan ke polisi dan diproses secara hukum.
Namun, pengajuan RJ didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, tersangka Kasma merupakan pelaku pertama kali dan bukan residivis. Kedua, ancaman hukuman yang dihadapi tersangka di bawah lima tahun penjara. Ketiga, telah tercapai perdamaian antara tersangka dan korban, dengan luka korban telah sembuh tanpa bekas. Terakhir, masyarakat memberikan respons positif terhadap proses RJ ini.
Semua pertimbangan ini sesuai dengan syarat dan ketentuan yang diatur dalam Perja RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif. Setelah persetujuan RJ diberikan, Kajati meminta Kejari Takalar untuk segera menyelesaikan administrasi perkara dan membebaskan tersangka. Kajati juga menekankan pentingnya penyelesaian perkara yang 'zero transaksional' untuk menjaga kepercayaan publik.
Peraturan Kejaksaan dan Keadilan Restoratif
Penerapan RJ dalam kasus ini mengacu pada Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020. Perja ini mengatur tentang keadilan restoratif sebagai upaya penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan pemulihan kembali kondisi sosial dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Dalam Perja tersebut, terdapat berbagai syarat dan pertimbangan yang harus dipenuhi sebelum RJ dapat diterapkan.
Penerapan RJ menunjukkan komitmen penegak hukum untuk mencari solusi yang lebih humanis dan restorative, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan konflik antar keluarga. Dengan RJ, diharapkan dapat tercipta perdamaian dan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, sehingga konflik dapat diselesaikan secara damai tanpa harus melalui proses peradilan yang panjang dan berbelit.
Proses RJ ini juga diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik serupa di masa mendatang. Proses mediasi dan dialog yang dilakukan dalam RJ membantu kedua belah pihak untuk memahami perspektif masing-masing dan mencapai kesepakatan bersama. Hal ini penting untuk membangun kembali hubungan yang harmonis antara korban dan pelaku, serta mencegah terjadinya eskalasi konflik.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, dalam hal ini, telah menunjukkan komitmennya untuk menerapkan hukum secara adil dan bijaksana. Penerapan RJ dalam kasus ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi penanganan kasus-kasus serupa di masa mendatang, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan pemulihan.