Kemasan Polos Rokok: Tak Pengaruhi Peredaran Ilegal, Klaim Kemenkes
Kementerian Kesehatan menegaskan kebijakan kemasan polos rokok tak terbukti meningkatkan peredaran rokok ilegal, didukung data dari negara-negara maju dan upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa penerapan kebijakan kemasan rokok polos terstandar tidak terbukti menyebabkan peningkatan peredaran rokok ilegal. Pernyataan ini disampaikan menyusul temu media di Jakarta pada Kamis, 21 Februari 2024, menanggapi anggapan yang selama ini beredar di masyarakat. Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, Benget Saragih, menjelaskan bahwa klaim tersebut tidak didukung bukti empiris. Lebih dari 25 negara di dunia, termasuk Singapura, Myanmar, dan Thailand di Asia Tenggara, telah menerapkan kebijakan serupa tanpa mengalami peningkatan signifikan peredaran rokok ilegal.
Benget Saragih menekankan bahwa tujuan utama kebijakan kemasan polos adalah mengurangi daya tarik rokok sebagai produk gaya hidup. Dengan menghilangkan elemen visual yang menarik, diharapkan kebijakan ini dapat meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan pada kemasan, serta berkontribusi pada penurunan angka perokok baru. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kemenkes saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-PMK) tentang standardisasi kemasan rokok, yang akan mengatur detail terkait bentuk, warna, dan ukuran gambar peringatan kesehatan, dengan target peningkatan hingga 80 persen.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan jumlah perokok di Indonesia mencapai 70,2 juta jiwa, dengan 63,1 juta perokok dewasa dan 5,9 juta perokok anak (usia 10-18 tahun). Indonesia merupakan pasar rokok terbesar ketiga di dunia, dan enam dari sepuluh kematian di Indonesia dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Kondisi ini menjadi perhatian serius pemerintah, mengingat dampak merokok yang multidimensi, mulai dari masalah kesehatan hingga ekonomi rumah tangga.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan Akibat Merokok
Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), Sumarjati Arjoso, mengungkapkan bahwa pengeluaran rumah tangga di Indonesia untuk rokok menempati urutan kedua terbesar. "Kita pengeluaran kedua terbanyak keluarga itu untuk merokok, protein sepertiganya. Konsumsi rokok berdampak multidimensi, menyebabkan stunting, berbagai penyakit, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga sudah mulai tekor, karena banyak pengeluaran untuk penyakit-penyakit termasuk akibat rokok, stroke, kanker, paru," paparnya. Beliau juga menekankan pentingnya pengendalian prevalensi merokok pada anak dan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang lebih disiplin.
Sumarjati Arjoso menambahkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur standardisasi kemasan rokok, memiliki potensi besar untuk menurunkan prevalensi perokok anak secara signifikan. "Peluang pengendalian tembakau dari PP tersebut di antaranya anak menjadi terlindungi dengan tidak merokok di bawah 21 tahun, lalu tidak menjual dan membeli rokok," tuturnya. Ia berharap aturan ini dapat diimplementasikan secara efektif untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok.
Kesimpulannya, pemerintah melalui Kemenkes berupaya menekan angka perokok di Indonesia melalui berbagai regulasi, termasuk standardisasi kemasan rokok. Meskipun ada anggapan bahwa kemasan polos akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, data dari berbagai negara menunjukkan hal sebaliknya. Fokus utama kebijakan ini adalah mengurangi daya tarik rokok, meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan, dan melindungi kesehatan masyarakat Indonesia, terutama anak-anak.