Kemendukbangga Siapkan Intervensi untuk 331 Ribu Keluarga Risiko Stunting di NTT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemendukbangga) berupaya menangani 331 ribu keluarga berisiko stunting di NTT melalui berbagai intervensi, termasuk perbaikan sanitasi dan air minum, guna menurunkan angka stunting yang masih tingg
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN tengah menangani permasalahan stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan serius. Tercatat sebanyak 331 ribu keluarga di NTT masuk dalam kategori Keluarga Risiko Stunting (KRS). Berbagai intervensi sensitif tengah disiapkan untuk mengatasi masalah ini, termasuk perbaikan sanitasi dan akses air minum bersih.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Mendukbangga)/Kepala BKKBN, Wihaji, saat menerima kunjungan kerja Gubernur NTT, Melki Laka Lena, di Kantor Kemendukbangga/BKKBN, Jakarta Timur, pada Rabu (19/3). Pertemuan tersebut membahas program-program yang dapat disinergikan dengan Pemerintah Provinsi NTT, terutama dalam bidang kependudukan dan pembangunan keluarga. Wihaji menekankan pentingnya penanganan KRS di NTT, mengingat angka prevalensi stunting di provinsi tersebut masih sangat tinggi.
Lebih lanjut, Wihaji menjelaskan bahwa dari total 769 ribu keluarga di NTT, 331 ribu di antaranya merupakan KRS yang membutuhkan intervensi pemerintah. Dari jumlah tersebut, 81.984 keluarga termasuk dalam kategori KRS desil 1 (miskin ekstrem), 81 ribu keluarga membutuhkan jamban, 157 ribu keluarga tidak memiliki jamban, dan 103 ribu keluarga tidak memiliki akses air minum utama yang layak. Kondisi ini menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi dalam upaya menurunkan angka stunting di NTT.
Penanganan Stunting di NTT dan Bonus Demografi
Wihaji juga menyoroti pentingnya memanfaatkan bonus demografi Indonesia, di mana 70,72 persen penduduk berusia produktif (14-65 tahun). Namun, ia mengingatkan bahwa bonus demografi ini perlu diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup. "Ini pekerjaan rumah, tetapi prinsip yang disebut dengan bonus itu sebenarnya bahwa tujuh dari 10 orang Indonesia itu produktif, pertanyaannya adalah apakah karena produktif itu dapat pekerjaan atau justru belum ada pekerjaan, dan saya kira tantangan di NTT juga termasuk. Mungkin dari 70 persen itu bisa juga hanya 30 persen yang mendapatkan pekerjaan, 40 persennya belum mendapatkan available job," ujar Wihaji.
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, angka prevalensi stunting di NTT mencapai 37,9 persen, jauh di atas angka nasional yang sebesar 21,5 persen. Artinya, hampir 38 dari setiap 100 balita di NTT mengalami stunting. Kondisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, mengingat dampak jangka panjang stunting terhadap perkembangan anak.
Kemendukbangga/BKKBN memiliki data 8,6 juta Keluarga Risiko Stunting (KRS) di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, telah dicanangkan program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting) yang akan menyasar 1 juta KRS. Program ini fokus pada penanganan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), karena pencegahan stunting sejak masa pranikah, kehamilan, hingga usia anak 2 tahun merupakan langkah efektif dalam menurunkan angka stunting.
Program Genting diharapkan dapat memberikan dampak signifikan dalam upaya penurunan angka stunting di NTT. Dengan berbagai intervensi yang terintegrasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, diharapkan angka stunting di NTT dapat ditekan secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Perbaikan sanitasi dan akses air bersih menjadi kunci utama dalam upaya tersebut.
Strategi dan Tantangan Penurunan Stunting di NTT
Salah satu strategi utama dalam penanganan stunting di NTT adalah intervensi yang terintegrasi dan berbasis keluarga. Hal ini mencakup edukasi gizi kepada ibu hamil dan ibu menyusui, serta pemberian makanan tambahan bagi anak-anak yang kekurangan gizi. Selain itu, perbaikan sanitasi dan akses air bersih juga menjadi fokus utama, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan pertumbuhan anak.
Tantangan dalam menurunkan angka stunting di NTT cukup kompleks. Selain faktor kemiskinan dan kurangnya akses layanan kesehatan, faktor geografis juga menjadi kendala. Wilayah NTT yang terpencil dan sulit dijangkau membuat akses terhadap layanan kesehatan dan edukasi gizi menjadi terbatas. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat dan terintegrasi untuk mengatasi tantangan tersebut.
Pemerintah Provinsi NTT dan Kemendukbangga/BKKBN berkomitmen untuk bekerja sama dalam menurunkan angka stunting di NTT. Dengan sinergi yang kuat dan program-program yang tepat sasaran, diharapkan angka stunting di NTT dapat ditekan secara signifikan dan generasi mendatang dapat tumbuh sehat dan optimal.
Keberhasilan upaya penurunan stunting di NTT tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran serta masyarakat. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan anak sejak dini sangat penting dalam upaya ini. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, diharapkan target penurunan angka stunting di NTT dapat tercapai.