Kemenkes Dorong Pencegahan Ketulian Sedini Mungkin Lewat Cek Kesehatan Gratis
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI gencar promosikan Cek Kesehatan Gratis (CKG) untuk mencegah ketulian sejak dini, menanggapi data WHO tentang tingginya angka gangguan pendengaran global.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia gencar mengkampanyekan pentingnya pencegahan ketulian sejak dini melalui program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Hal ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Pendengaran Sedunia 2025, menanggapi data mengejutkan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang tingginya angka gangguan pendengaran di dunia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan bahwa CKG mencakup pemeriksaan pendengaran untuk semua kelompok usia, mulai dari bayi hingga lansia.
Menurut Kemenkes, deteksi dini sangat krusial. "Misalnya, khususnya kepada gangguan pendengarannya mulai pada bayi baru lahir. Karena kami melakukan tes juga untuk pendengaran dan juga pemeriksaan pada usia sekolah. Setelah itu pada usia dewasa dan lansia tes pendengaran juga menjadi satu bagian dari CKG," jelas Nadia dalam temu media daring di Jakarta. Langkah ini dinilai penting mengingat gangguan pendengaran dapat menghambat prestasi anak dan produktivitas individu di usia produktif.
Penyebab gangguan pendengaran beragam, mulai dari faktor bawaan sejak lahir, sumbatan serumen (kotoran telinga), hingga gaya hidup tidak sehat. Pada anak muda, kebiasaan mendengarkan musik dengan volume tinggi menjadi faktor risiko utama. Pemerintah, melalui Kemenkes, berupaya mengatasi masalah ini dengan menyediakan fasilitas CKG dan juga dengan menegakkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja, khususnya di lingkungan dengan paparan kebisingan tinggi seperti bandara dan pabrik, melalui penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).
Gangguan Pendengaran: Ancaman Global dan Nasional
Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 1,57 miliar penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran, menjadikannya penyebab ketiga disabilitas global. Lebih dari 5 persen populasi dunia, atau sekitar 430 juta orang, membutuhkan rehabilitasi pendengaran, termasuk 34 juta anak. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 2,5 miliar pada tahun 2050, dengan 700 juta orang membutuhkan rehabilitasi.
Situasi di Indonesia juga memprihatinkan. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi disabilitas pendengaran pada usia di atas satu tahun sebesar 0,4 persen. Lebih mengejutkan lagi, proporsi penggunaan alat bantu dengar mencapai 4,1 persen, artinya 4 dari 100 orang Indonesia menggunakan alat bantu dengar. Pada anak di bawah lima tahun, infeksi telinga menjadi penyebab utama gangguan pendengaran, diperkirakan sekitar 22,6 persen kasus Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).
Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Yudhi Pramono, menekankan pentingnya langkah preventif. "Saat ini lebih dari lima persen populasi dunia atau sekitar 430 juta orang memerlukan rehabilitasi pendengaran atau untuk anak sekitar 34 juta anak," katanya. Ia menambahkan bahwa upaya pencegahan sedini mungkin sangat penting untuk mengurangi beban angka tersebut di masa mendatang.
Berdasarkan data tersebut, upaya Kemenkes melalui CKG dan penegakan kebijakan penggunaan APD di tempat kerja yang berisiko tinggi terhadap gangguan pendengaran merupakan langkah strategis dalam mengatasi masalah kesehatan pendengaran di Indonesia. Dengan deteksi dini dan pencegahan yang tepat, diharapkan angka gangguan pendengaran dapat ditekan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat meningkat.
Langkah-langkah Pencegahan Ketulian:
- Melakukan pemeriksaan pendengaran secara rutin, terutama pada bayi dan anak-anak.
- Menghindari paparan kebisingan yang berlebihan, seperti mendengarkan musik dengan volume tinggi.
- Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) di lingkungan kerja yang berisiko tinggi terhadap kebisingan.
- Menjaga kebersihan telinga dan segera memeriksakan diri jika mengalami gangguan pendengaran.