Kementerian PPPA Imbau Stop Sebar Video Penggerebekan Remaja Lampung: Cegah Trauma dan Stigma
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta masyarakat tidak menyebarkan video penggerebekan remaja di Lampung Timur untuk mencegah trauma dan stigma pada korban perkawinan anak.
Jakarta, 20 Februari 2024 - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarluaskan video penggerebekan sepasang remaja di Lampung Timur, Lampung. Penyebaran video tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan trauma berkepanjangan dan stigma negatif bagi para korban. Peristiwa ini melibatkan sepasang remaja yang digerebek warga setelah diduga melakukan hubungan intim, kemudian dipaksa untuk menikah.
Sekretaris KemenPPPA, Titi Eko Rahayu, menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian ini. "Kami meminta agar masyarakat tidak menyebarluaskan video tersebut, karena akan memberikan trauma panjang pada korban dan mencegah stigma," tegas Titi Eko Rahayu dalam pernyataan resmi di Jakarta, Kamis.
Kejadian ini menyoroti permasalahan serius terkait perkawinan anak di Indonesia. Pernikahan usia anak tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga berdampak negatif secara signifikan terhadap masa depan mereka, termasuk pendidikan dan kesehatan mental.
Perkawinan Anak: Ancaman bagi Masa Depan
KemenPPPA menyesalkan pemaksaan perkawinan yang terjadi pada sepasang remaja tersebut. Pernikahan usia anak, menurut KemenPPPA, memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi korban. Mereka terancam kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, serta berpotensi mengalami berbagai masalah kesehatan fisik dan mental.
"Kami prihatin dengan pergaulan remaja yang semestinya tidak dilakukan sebelum resmi menikah. Namun, di satu sisi kami juga sangat menyayangkan keputusan dari pihak keluarga yang mengambil jalan pintas untuk menikahkan para korban. Perkawinan pada usia anak memiliki dampak negatif yang besar," ungkap Titi Eko Rahayu.
Dampak psikologis perkawinan paksa pada remaja sangat serius. Korban berpotensi mengalami kecemasan, depresi, trauma, dan masalah kesehatan mental jangka panjang. Faktor-faktor ini semestinya menjadi pertimbangan utama bagi orang tua sebelum memutuskan untuk menikahkan anak di usia muda.
Selain itu, pernikahan paksa juga meningkatkan risiko konflik rumah tangga dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Lebih lanjut, Titi Eko Rahayu menegaskan bahwa pemaksaan perkawinan merupakan tindak pidana dan termasuk dalam kategori tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.
KemenPPPA berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan melindungi anak dari perkawinan anak. Pentingnya edukasi dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang sangat ditekankan. Masyarakat juga didorong untuk aktif melaporkan setiap kasus perkawinan anak kepada pihak berwajib.
Dengan tidak menyebarkan video tersebut, masyarakat turut berkontribusi dalam melindungi korban dan mencegah meluasnya stigma negatif terhadap mereka. Perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak merupakan tanggung jawab bersama.