Klaim Vape Aman: Akademisi Diduga Sesatkan Publik, RUKKI Angkat Bicara
RUKKI mengkritik klaim akademisi tentang keamanan vape, menyebutnya menyesatkan publik dan didalangi kepentingan industri rokok.
Jakarta, 29 April 2024 - Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menyatakan bahwa klaim sejumlah akademisi mengenai keamanan rokok elektronik (vape) dibandingkan rokok konvensional telah menyesatkan publik. Selain varian rasa, kemasan menarik, dan promosi masif, klaim ini dinilai turut berperan dalam meningkatkan popularitas vape di Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto, dalam konferensi pers di Jakarta.
Bigwanto menjelaskan bahwa dalam epidemiologi, terdapat beberapa faktor yang menentukan penyebaran penyakit: host (inang), lingkungan, agen (penyebab penyakit), dan vektor (penular). Dalam konteks prevalensi rokok di Indonesia, produk tembakau bertindak sebagai agen, sementara industri rokok berperan sebagai vektor. Ia menyoroti besarnya sumber daya yang dimiliki industri rokok untuk melakukan promosi dan mempengaruhi opini publik.
Lebih lanjut, Bigwanto menyinggung peran sejumlah lembaga dan individu yang diduga menerima dana dari industri rokok untuk mempromosikan vape. Ia mencontohkan CoEHAR (Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction), yang didanai oleh Foundation for Smoke-Free World (sebelumnya Philip Morris), dengan dana mencapai 140 juta dolar AS atau sekitar 16 miliar rupiah. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan anggaran Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kemenkes yang hanya 300 juta rupiah per tahun.
Klaim Dukungan Kementerian Kesehatan dan Peran ASN
Bigwanto juga mengkritik CoEHAR yang seolah-olah menggambarkan dukungan Kementerian Kesehatan terhadap pengurangan dampak tembakau (THR). Ia menyebutkan bahwa beberapa pernyataan yang mengutip Direktur PTM (Penyakit Tidak Menular) Siti Nadia Tarmizi justru menunjukkan pandangan yang kontra terhadap vape, menekankan bahaya rokok elektronik, bahkan untuk tujuan berhenti merokok.
Selain itu, ia menyoroti peran Paido Siahaan, pendiri dan Ketua Umum AKVINDO (Asosiasi Konsumen Vape Indonesia), yang juga merupakan ASN di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Bigwanto mengungkapkan bahwa Siahaan aktif mempromosikan rokok elektronik, bahkan mewakili AKVINDO dalam public hearing Kemenkes di jam kerja. Hal ini, menurut Bigwanto, menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan dan promosi rokok elektronik melalui jalur resmi.
Bigwanto juga menyinggung peran Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) yang mempromosikan rokok elektronik. Ia menyebut dua peneliti YPKP, Ahmad Syawqie dan Amaliya (keduanya dokter gigi), melakukan riset yang fokus pada dampak vape terhadap gigi dan mulut, mengabaikan dampaknya terhadap paru-paru. Menurut Bigwanto, hal ini merupakan bentuk penyederhanaan yang menyesatkan.
Bahaya Vape dan Rokok Konvensional
Bigwanto menekankan bahwa promosi vape oleh akademisi berdampak serius terhadap opini publik, yang kini cenderung positif terhadap vape. Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kemenkes, Benget Saragih, menegaskan bahwa rokok konvensional dan vape sama-sama berbahaya. Cairan vape mengandung propilen glikol, gliserin, nikotin, dan penambah rasa, sementara rokok konvensional mengandung tar. Meskipun vape tidak mengandung tar, kandungan lainnya tetap berbahaya bagi tubuh.
Kesimpulannya, RUKKI mendesak agar masyarakat lebih kritis terhadap informasi yang beredar mengenai vape dan tidak terpengaruh oleh klaim yang menyesatkan. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap promosi vape dan transparansi pendanaan riset terkait.
Sumber: ANTARA