NTB Perkuat Perlindungan 22 Santriwati Korban Pelecehan Seksual: Bentuk Satgas Pengawasan Asrama Pesantren
Pemerintah Provinsi NTB berkomitmen melindungi 22 santriwati korban pelecehan seksual di Lombok Barat dengan membentuk Satgas pengawasan asrama pesantren dan memberikan pendampingan.
Mataram, 23 April 2024 - Dugaan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap 22 santriwati di sebuah pondok pesantren di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenal sebagai kasus "Walid Lombok", telah mendorong Pemerintah Provinsi NTB untuk mengambil langkah serius dalam memperkuat perlindungan bagi para korban. Kasus ini terjadi di wilayah Kekait, Lombok Barat, dan telah menimbulkan keprihatinan publik yang luas. Pemerintah berupaya memastikan keadilan dan keamanan bagi para korban, serta mencegah kejadian serupa terulang.
Menindaklanjuti arahan Gubernur NTB, Dinas Sosial NTB, bersama tim pekerja sosial dan Kepala UPTD PPA DP3AP2KB Provinsi NTB, telah menggelar pertemuan dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram dan aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa langkah strategis untuk melindungi para korban.
Kepala Dinas Sosial NTB, Ahsanul Khalik, menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut meliputi pengajuan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pendampingan sosial dan psikologis terintegrasi, penelusuran dan penjaminan hak pendidikan santriwati, serta usulan pembentukan Satgas pengawasan asrama pondok pesantren. Hal ini menunjukkan komitmen Pemprov NTB untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi para korban.
Langkah Strategis Perlindungan Santriwati Korban Pelecehan
Salah satu langkah penting adalah mendorong para korban untuk mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK. Hal ini bertujuan untuk memastikan keamanan dan perlindungan para korban selama proses hukum berlangsung, serta membebaskan mereka dari tekanan, intimidasi, atau ancaman. Pendampingan sosial dan psikologis juga akan diberikan secara terintegrasi oleh Dinas Sosial NTB dan UPTD PPA DP3AP2KB NTB, termasuk konseling psikososial dan pemulihan trauma.
Selain itu, Pemprov NTB akan menelusuri kemungkinan adanya korban lain di luar 22 santriwati yang telah terungkap. Proses ini melibatkan kolaborasi antara LPA Kota Mataram, pekerja sosial masyarakat dari Dinas Sosial NTB, serta Dinas Sosial dan DP3AP2KB dari kabupaten/kota asal para santri. Pemprov NTB juga berkomitmen untuk memastikan hak pendidikan para santri tetap terpenuhi, termasuk memfasilitasi kepindahan mereka ke lembaga pendidikan yang lebih aman jika diperlukan, dengan berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB.
Terkait dengan kelemahan sistem pengawasan asrama pondok pesantren, diusulkan pembentukan Satgas Pengawasan dan Pembinaan Asrama Pondok Pesantren. Satgas ini akan bertugas melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk pelanggaran di lingkungan asrama, termasuk kekerasan seksual, serta mengawasi kelayakan sarana prasarana, kebersihan, dan kenyamanan asrama.
Peran Pemerintah dalam Perlindungan Anak
Pemprov NTB menegaskan komitmennya untuk melindungi anak-anak dan memastikan keadilan ditegakkan. "Pemprov NTB tidak akan membiarkan anak-anak kehilangan masa depannya," tegas Khalik. Kasus ini diharapkan menjadi momentum perbaikan menyeluruh bagi sistem perlindungan anak di NTB, mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Perlindungan anak merupakan prioritas utama pemerintah, dan kasus ini menjadi bukti nyata komitmen tersebut.
Langkah-langkah yang diambil oleh Pemprov NTB menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam menangani kasus ini. Dengan adanya perlindungan hukum, pendampingan psikologis, dan pengawasan yang lebih ketat di lingkungan pesantren, diharapkan dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap santriwati di masa mendatang. Selain itu, kolaborasi antar lembaga terkait sangat penting untuk memastikan efektivitas langkah-langkah perlindungan yang diambil.
Pembentukan Satgas pengawasan asrama pondok pesantren merupakan langkah inovatif yang patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada penanganan kasus, tetapi juga pada pencegahan di masa mendatang. Dengan adanya pengawasan yang lebih ketat, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi para santri.