Pengacara Ronald Tannur Akui Beri Rp6 Miliar ke Mantan Pejabat MA
Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, mengaku memberikan uang Rp6 miliar kepada mantan pejabat MA, Zarof Ricar, untuk mempengaruhi putusan kasasi kliennya; sebagian uang berasal dari honor dan sisanya dari tambahan pribadi.
Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, mengakui telah memberikan uang sejumlah Rp6 miliar kepada Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA). Pemberian uang tersebut bertujuan untuk mempengaruhi putusan kasasi kliennya dalam sebuah perkara hukum. Peristiwa ini terungkap dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 25 Februari 2024.
Menurut pengakuan Lisa Rachmat dalam kesaksiannya, Zarof Ricar meminta uang sebesar Rp6 miliar. Lisa menyerahkan uang tersebut dalam dua tahap; Rp5 miliar secara langsung dan Rp1 miliar melalui anaknya. Hal ini diungkapkannya di hadapan majelis hakim yang menangani kasus tersebut. Sidang ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah pihak penting dalam sistem peradilan Indonesia.
Sumber dana yang digunakan Lisa Rachmat berasal dari dua sumber. Sebagian berasal dari honor yang diterimanya dari ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, sebesar Rp5 miliar untuk mengawal persidangan kliennya dari tahap penyidikan hingga putusan inkracht. Sisanya merupakan tambahan dari uang pribadinya. Namun, Lisa juga menjelaskan bahwa honor yang diterimanya belum dibayarkan penuh, baru mencapai Rp3,5 miliar secara bertahap. Fakta ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya untuk mempengaruhi proses peradilan.
Uang Suap dan Gratifikasi dalam Kasus Tiga Hakim PN Surabaya
Sidang tersebut juga menghadirkan tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebagai terdakwa. Ketiga hakim, Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp4,67 miliar. Suap tersebut diduga terkait dengan pemberian vonis bebas kepada Ronald Tannur. Rincian suap tersebut meliputi uang tunai dan sejumlah mata uang asing.
Lebih lanjut, terungkap bahwa uang senilai Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar) diterima oleh ketiga hakim tersebut. Pembagiannya cukup detail; Erintuah menerima 48 ribu dolar Singapura dari Meirizka dan Lisa, Heru menerima Rp1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura dari sumber yang sama, dan Mangapul juga menerima bagian dari uang tersebut. Pembagian uang tersebut menunjukkan adanya perencanaan yang matang dalam aksi korupsi ini.
Selain uang tunai, terdakwa juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan skala besar dari dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Ketiga terdakwa diduga mengetahui bahwa uang yang diberikan bertujuan untuk membebaskan Ronald Tannur dari seluruh dakwaan.
Dakwaan Terhadap Para Terdakwa
Perbuatan para terdakwa didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Dakwaan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan pengacara.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan Indonesia. Pengungkapan kasus ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan mencegah praktik-praktik koruptif di masa mendatang. Proses hukum yang sedang berlangsung diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Proses persidangan ini terus berlanjut dan publik menantikan perkembangan selanjutnya. Pengungkapan fakta-fakta baru dalam persidangan diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan dan motif di balik kasus dugaan suap dan gratifikasi ini. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem peradilan Indonesia dan mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi serupa di masa depan.