16 Peserta Disabilitas di Unhas Dapat Pendampingan UTBK 2025
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar memberikan pendampingan kepada 16 peserta disabilitas selama UTBK-SNBT 2025, menunjukkan komitmen terhadap inklusivitas.

Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, telah menunjukkan komitmennya terhadap inklusivitas dengan memberikan pendampingan kepada 16 peserta disabilitas selama Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK-SNBT) 2025. Ujian yang berlangsung dari 23 April hingga 3 Mei 2025 ini diikuti oleh 21.813 peserta, dengan 16 di antaranya merupakan peserta disabilitas yang mendapatkan layanan khusus dari Unhas. Hal ini menandai pertama kalinya Unhas menyediakan layanan khusus tersebut dalam pelaksanaan UTBK.
Kepala Pusat Disabilitas (Pusdis) Unhas Makassar, Ishak Salim, menjelaskan bahwa persiapan layanan ini tidak tanpa kendala. Salah satu tantangan terbesar adalah aturan pusat yang mewajibkan peserta melepas alat bantu dengar selama ujian. "Ini aturan yang belum sepenuhnya mempertimbangkan hak disabilitas," ungkap Ishak Salim. Meskipun demikian, Unhas berkomitmen untuk memastikan kelancaran ujian bagi seluruh peserta, termasuk peserta disabilitas.
Unhas menyadari bahwa alat bantu dengar bagi penyandang disabilitas bukanlah sekadar alat bantu pendengar biasa, melainkan alat medis yang krusial bagi fungsi dasar mereka. Oleh karena itu, pihak Unhas berupaya keras untuk memberikan dukungan maksimal agar para peserta disabilitas dapat mengikuti ujian dengan nyaman dan percaya diri. Komitmen ini tercermin dalam penyediaan fasilitas dan pendampingan yang komprehensif.
Layanan Pendampingan Komprehensif untuk Peserta Disabilitas
Unhas menyiapkan Laboratorium Komputer Fakultas Hukum dengan aksesibilitas tinggi untuk menunjang pelaksanaan UTBK bagi peserta disabilitas. Fasilitas ini meliputi komputer bersuara bagi peserta dengan kendala penglihatan (low vision), relawan pendamping mobilitas, dan penerjemah bagi peserta tunarungu. Kolaborasi intensif antara panitia lokal, Pusdis Unhas, dan tim pusat di Jakarta telah memastikan terlaksananya layanan optimal ini.
Sebanyak 10 peserta disabilitas sensorik pendengaran (tuli), satu peserta dengan low vision, dan lima peserta disabilitas fisik mengikuti ujian dengan jadwal yang tersebar selama 10 hari. Pusdis Unhas juga memberikan pembekalan intensif, termasuk pelatihan penggunaan teknologi asisten, seperti Non Visual Desktop Access (NVDA) untuk peserta low vision dan bimbingan dari mahasiswa tunarungu Unhas. Pendampingan ini bertujuan untuk memastikan kesiapan peserta tidak hanya secara akademis, tetapi juga mental.
Meskipun demikian, proses pendaftaran juga menghadirkan tantangan tersendiri. Beberapa peserta disabilitas tidak mencentang kolom kedisabilitasan saat pendaftaran, sehingga tidak terdeteksi sejak awal. Namun, berkat kesigapan relawan Pusdis Unhas, hal ini tidak menghalangi mereka untuk tetap mengikuti ujian. Para relawan aktif mendampingi dan membantu peserta disabilitas yang mengalami kendala dalam proses pendaftaran maupun selama ujian berlangsung.
Menjawab Tantangan dan Mengukuhkan Komitmen Inklusi
Partisipasi aktif Unhas dalam memberikan pendampingan kepada peserta disabilitas dalam UTBK 2025 menunjukkan komitmen nyata terhadap prinsip inklusi. Meskipun menghadapi kendala, seperti aturan pusat terkait alat bantu dengar, Unhas tetap berupaya memberikan layanan terbaik bagi seluruh peserta, tanpa terkecuali. Hal ini patut diapresiasi sebagai langkah positif dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang setara dan ramah bagi semua.
Keberhasilan pelaksanaan UTBK 2025 bagi peserta disabilitas di Unhas menjadi contoh baik bagi perguruan tinggi lain di Indonesia. Dengan menyediakan fasilitas dan pendampingan yang memadai, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi, terlepas dari keterbatasan fisik atau sensorik yang mereka miliki. Semoga langkah ini dapat menginspirasi lebih banyak perguruan tinggi untuk menerapkan prinsip inklusivitas dalam penyelenggaraan ujian masuk perguruan tinggi.
Ke depan, diharapkan adanya perbaikan regulasi yang lebih mengakomodasi kebutuhan peserta disabilitas, sehingga pelaksanaan ujian dapat berjalan lebih lancar dan memberikan rasa nyaman bagi semua peserta. Komitmen Unhas dalam hal ini patut diapresiasi dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi lembaga pendidikan lainnya dalam menciptakan akses pendidikan yang lebih inklusif.
Persiapan yang matang dan kolaborasi yang baik antara berbagai pihak di Unhas telah menunjukkan bahwa dengan komitmen dan kerja keras, hambatan dapat diatasi dan kesetaraan kesempatan dapat diwujudkan. Semoga kisah sukses ini dapat menginspirasi dan mendorong terwujudnya pendidikan tinggi yang lebih inklusif di Indonesia.