22 Santriwati di Lombok Barat Laporkan Kasus Pelecehan Seksual oleh Ustadz Ponpes
Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB melaporkan 22 santriwati menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang ustadz di Lombok Barat, dengan modus manipulatif dan janji keberkatan.

Mataram, 21 April 2024 - Sebuah kasus dugaan pelecehan seksual menghebohkan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB melaporkan sedikitnya 22 santriwati menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang ustadz di sebuah pondok pesantren di Desa Kekait. Kasus ini terungkap setelah tujuh korban berani melapor ke Polresta Mataram, didampingi oleh KSKS NTB sejak 16 April 2024. Modus yang digunakan pelaku tergolong manipulatif, memanfaatkan kepercayaan spiritual dan relasi kuasa untuk melancarkan aksinya.
Ketua KSKS NTB, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa sebagian besar korban merupakan alumni pondok pesantren tersebut. Mereka terinspirasi untuk bersuara setelah menyaksikan film "Bidaah" produksi Malaysia yang sempat viral. Dari 22 korban, sekitar 10 orang diduga mengalami persetubuhan, sementara sisanya mengalami pencabulan. Yang lebih memprihatinkan, seluruh korban masih berusia anak-anak saat kejadian berlangsung, dengan rentang waktu pelecehan sejak tahun 2016 hingga 2023.
Kasus ini menjadi sorotan karena modus operandi pelaku yang licik. Pelaku, seorang ustadz berinisial AF, menjanjikan "keberkatan" pada rahim para korban agar kelak dapat melahirkan anak-anak yang akan menjadi wali. Hal ini menunjukkan bagaimana pelaku memanfaatkan kepercayaan dan relasi spiritual untuk memanipulasi korban secara psikologis, menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual.
Kronologi dan Modus Operandi
Dugaan pelecehan seksual terjadi di kamar asrama pondok pesantren pada dini hari. Pelaku, dengan memanfaatkan posisi dan pengaruhnya sebagai ustadz, melakukan tindakan pelecehan terhadap para santriwati. Modus manipulatif yang digunakan pelaku, yaitu menjanjikan keberkatan, menunjukkan betapa liciknya pelaku dalam melancarkan aksinya. Hal ini juga menyoroti pentingnya pengawasan dan perlindungan terhadap santriwati di lingkungan pondok pesantren.
Dari 22 korban yang tercatat, hanya tujuh yang telah memberikan keterangan resmi kepada pihak kepolisian. KSKS NTB terus mendampingi para korban untuk memberikan dukungan dan memastikan proses hukum berjalan dengan adil. Polresta Mataram juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lingkungan pondok pesantren.
Kepala Satreskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan klarifikasi kepada berbagai pihak terkait, termasuk pelapor, korban, terlapor, dan pendiri pondok pesantren. Proses investigasi masih berlangsung untuk mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan bagi para korban.
Langkah-langkah Selanjutnya
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dan perempuan, khususnya di lingkungan pendidikan keagamaan. Perlu adanya pengawasan yang ketat dan mekanisme pelaporan yang jelas untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang. Pihak berwenang harus memastikan proses hukum berjalan dengan transparan dan adil, memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku, serta memberikan dukungan psikososial bagi para korban.
Selain itu, perlu adanya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Penting juga untuk membangun kesadaran kolektif untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual dengan serius.
Saat ini, fokus utama adalah memberikan dukungan kepada para korban dan memastikan pelaku mendapatkan sanksi hukum yang setimpal atas perbuatannya. Semoga kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan melindungi anak-anak dan perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual.
Kesimpulan: Kasus pelecehan seksual di Lombok Barat ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak dan perempuan, serta perlunya pengawasan yang ketat di lingkungan pondok pesantren. Proses hukum yang transparan dan adil, serta dukungan psikososial bagi korban, sangat diperlukan untuk memastikan keadilan tercapai.