Ustadz di Lombok Barat Ditetapkan Tersangka Kasus Pelecehan Seksual terhadap 13 Santriwati
Kepolisian menetapkan seorang ustadz di Lombok Barat sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 13 santriwati, dengan total korban diperkirakan mencapai puluhan.

Kepolisian Resor Kota (Polresta) Mataram menetapkan seorang ustadz berinisial AF sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap sejumlah santriwati di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penetapan tersangka ini diumumkan pada Kamis, 24 April 2024, setelah gelar perkara pada Rabu malam sebelumnya. Kasus ini terungkap setelah korban pertama melaporkan kejadian yang dialaminya pada 16 April 2024.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polresta Mataram, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Regi Halili, menyatakan bahwa AF ditetapkan sebagai tersangka atas perbuatan pencabulan dan persetubuhan terhadap para santriwati. "Yang bersangkutan kami tetapkan sebagai tersangka atas perbuatan pencabulan dan persetubuhan terhadap santriwati," ujar AKP Regi Halili dalam konferensi pers di Mataram.
AF ditahan di ruang tahanan Markas Polresta Mataram. Yang mengejutkan, tersangka bersikap kooperatif dan mengakui perbuatannya, sehingga proses penyidikan berjalan cepat. Kasus ini tergolong serius karena melibatkan banyak korban dan menyangkut tindakan yang sangat melanggar norma agama dan hukum.
Korban Pelecehan Seksual Berjumlah 13 Santriwati
Berdasarkan keterangan polisi, terdapat dua kategori pelaporan terkait pelecehan seksual yang dilakukan AF, yaitu persetubuhan dan pencabulan. Lima santriwati menjadi korban persetubuhan, sementara lima lainnya menjadi korban pencabulan. Satu santriwati mengalami keduanya, sehingga total korban yang telah melapor berjumlah 10 orang.
Namun, jumlah korban terus bertambah. Tiga korban tambahan telah memberikan keterangan kepada penyidik, sehingga total korban yang telah melapor kini mencapai 13 orang. AKP Regi Halili menyatakan bahwa kemungkinan masih ada korban lain yang belum berani melapor. Pihak kepolisian terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap seluruh kasus ini secara menyeluruh.
Kasus ini mendapatkan perhatian luas dari masyarakat dan berbagai organisasi perlindungan anak. Polisi bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan semua korban mendapatkan perlindungan dan keadilan. Proses hukum akan terus berlanjut untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan perlindungan maksimal bagi para korban.
Inspirasi dari Film & Pendampingan Hukum
Hal yang menarik perhatian adalah para korban pertama kali mendapatkan keberanian untuk melaporkan kasus ini setelah mendapat pencerahan dari film "Bidaah Walid". Film tersebut menginspirasi mereka untuk bersuara dan mencari keadilan.
Ketua Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB, Joko Jumadi, turut memberikan pendampingan hukum kepada para korban di Polresta Mataram. Kehadiran KSKS NTB memberikan dukungan moral dan bantuan hukum yang sangat dibutuhkan para korban dalam menghadapi proses hukum yang panjang dan kompleks. Pendampingan ini sangat penting untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi dan mereka merasa aman dalam memberikan kesaksian.
KSKS NTB mencatat bahwa jumlah santriwati yang menjadi korban AF diperkirakan mencapai puluhan orang. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya kasus ini dan betapa pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan lembaga pendidikan lainnya.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak dan pengawasan ketat terhadap lembaga pendidikan keagamaan. Perlu adanya mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. Selain itu, edukasi dan pencegahan kekerasan seksual perlu digalakkan secara masif di semua lapisan masyarakat.
Kesimpulan
Penetapan ustadz AF sebagai tersangka merupakan langkah penting dalam proses penegakan hukum. Namun, kasus ini juga menjadi sorotan atas pentingnya perlindungan anak dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Semoga kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan proaktif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak dan perempuan.