29 Musisi Gugat UU Hak Cipta: Pasal Royalti Dinilai Rugikan Pelaku Pertunjukan
Dua puluh sembilan musisi papan atas Indonesia mengajukan uji materi lima pasal UU Hak Cipta terkait royalti, yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak mereka.

Jakarta, 24 April 2025 - Sebanyak 29 musisi ternama Indonesia, termasuk Armand Maulana, Ariel NOAH, dan Rossa, mengajukan permohonan uji materi terhadap lima pasal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak konstitusional para pelaku pertunjukan. Kasus ini bermula dari keresahan para musisi atas beberapa penafsiran dan pelaksanaan UU Hak Cipta yang dinilai merugikan profesi mereka.
Para musisi mempersoalkan lima pasal dalam UU Cipta Kerja, yaitu Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2). Mereka merasa pasal-pasal tersebut menciptakan ambiguitas dalam mekanisme pembayaran royalti, khususnya dalam konteks pertunjukan musik komersial. Kuasa hukum para pemohon, Panji Prasetyo, menjelaskan bahwa ketidakjelasan ini menyebabkan para musisi merasa khawatir dan terancam dalam menjalankan profesinya. Salah satu contoh kasus yang menjadi pemicu adalah larangan Once Mekel membawakan lagu-lagu Dewa 19 tanpa izin dan pembayaran royalti langsung kepada pencipta lagu.
Permohonan uji materi ini diajukan sebagai upaya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan atas hak-hak para musisi. Mereka berharap MK dapat memberikan interpretasi yang lebih jelas dan melindungi hak-hak mereka sebagai pelaku pertunjukan. Dengan adanya gugatan ini, diharapkan akan tercipta sistem yang lebih adil dan transparan dalam pengelolaan royalti bagi para musisi di Indonesia.
Poin-Poin Utama Gugatan UU Hak Cipta
Gugatan yang diajukan oleh 29 musisi ini berfokus pada lima pasal dalam UU Hak Cipta. Berikut ini rincian pokok permohonan mereka:
- Pasal 9 ayat (3): Para pemohon meminta agar pasal ini dimaknai bahwa penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan tidak memerlukan izin pencipta, namun tetap wajib membayar royalti.
- Pasal 23 ayat (5): Mereka meminta frasa “setiap orang” dimaknai sebagai “Orang atau badan hukum sebagai penyelenggara acara pertunjukan”, dengan pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum atau sesudah pertunjukan, kecuali ada perjanjian berbeda.
- Pasal 81: Para pemohon meminta agar pasal ini dimaknai bahwa penggunaan komersial dalam pertunjukan tidak memerlukan lisensi dari pencipta, namun tetap wajib membayar royalti melalui LMK.
- Pasal 87 ayat (1): Mereka meminta agar pasal ini tidak dimaknai sebagai satu-satunya mekanisme pengumpulan royalti, sehingga pencipta dapat menggunakan mekanisme lain yang non-kolektif dan/atau tidak diskriminatif.
- Pasal 113 ayat (2): Para musisi meminta agar pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan dihapus karena dianggap memberatkan para pelaku pertunjukan.
Para musisi berharap putusan MK dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pelaku industri musik di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya sistem royalti yang jelas dan transparan untuk melindungi hak-hak ekonomi para pencipta dan pelaku pertunjukan.
Sidang pendahuluan perkara ini telah digelar di MK pada Kamis, 24 April 2025. Proses selanjutnya akan menentukan nasib lima pasal UU Hak Cipta yang digugat oleh 29 musisi tersebut. Putusan MK nantinya akan berdampak signifikan terhadap industri musik Indonesia dan bagaimana royalti dibayarkan kepada para pencipta dan pelaku pertunjukan.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi para musisi dan seniman di Indonesia. Semoga MK dapat memberikan putusan yang bijak dan berkeadilan, sehingga dapat menciptakan iklim industri musik yang lebih sehat dan berkelanjutan.