7 Burung Endemik Maluku Dilepasliarkan di Hutan Aru, Upaya Konservasi BKSDA
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku melepasliarkan tujuh burung endemik, empat Nuri Aru dan tiga Perkici Pelangi, yang diselamatkan dari perdagangan ilegal di Hutan Desa Durjela, Kabupaten Kepulauan Aru.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Maluku berhasil melepaskan tujuh ekor burung endemik kembali ke habitat aslinya di kawasan Hutan Desa Durjela, Kabupaten Kepulauan Aru, pada tanggal 11 Maret 2024. Tujuh burung tersebut terdiri dari empat Nuri Aru (Chalcopsitta scintillata) dan tiga Perkici Pelangi (Trichoglossus haematodus), yang sebelumnya disita dari aktivitas perdagangan ilegal dan direhabilitasi di Stasiun Konservasi Satwa Dobo. Pelepasliaran ini merupakan wujud nyata komitmen BKSDA dalam upaya pelestarian satwa endemik Maluku.
Polisi Kehutanan (Polhut) BKSDA Maluku, Seto, menjelaskan bahwa burung-burung tersebut telah menjalani perawatan intensif, termasuk masa karantina dan rehabilitasi, sebelum dinyatakan siap untuk kembali ke alam liar. Proses rehabilitasi ini bertujuan untuk memastikan burung-burung tersebut mampu beradaptasi dan bertahan hidup di habitat aslinya. Keberhasilan pelepasliaran ini menjadi bukti nyata kerja keras tim BKSDA dalam menyelamatkan satwa dilindungi dari ancaman perdagangan ilegal.
Pelepasliaran ini bukan hanya sekadar mengembalikan burung-burung ke habitatnya, tetapi juga merupakan langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan populasi satwa liar di Kepulauan Aru. Kawasan ini dikenal sebagai habitat alami berbagai jenis burung langka, dan upaya konservasi seperti ini sangat krusial untuk mencegah kepunahan spesies-spesies tersebut. BKSDA Maluku berharap agar burung-burung yang dilepasliarkan dapat berkembang biak dan menjaga kelestarian populasinya di alam liar.
Upaya Konservasi BKSDA Maluku
BKSDA Maluku secara aktif berupaya menekan peredaran satwa liar ilegal melalui peningkatan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat. Pihaknya mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah daerah, organisasi lingkungan, dan komunitas pecinta alam, untuk turut serta dalam upaya konservasi ini. Partisipasi aktif masyarakat sangat penting untuk keberhasilan pelestarian satwa endemik Maluku.
Seto menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mencegah perdagangan satwa ilegal. Masyarakat diimbau untuk tidak menangkap, memperjualbelikan, atau memelihara satwa liar yang dilindungi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang memberikan sanksi tegas bagi mereka yang terlibat dalam perdagangan satwa dilindungi.
Lebih lanjut, Seto menambahkan bahwa keberhasilan pelepasliaran satwa juga bergantung pada kondisi ekosistem yang sehat dan minimnya gangguan dari aktivitas manusia, seperti perburuan dan perambahan hutan. Oleh karena itu, perlindungan habitat juga menjadi bagian penting dari upaya konservasi yang dilakukan BKSDA Maluku.
BKSDA Maluku berharap agar burung-burung yang dilepasliarkan dapat beradaptasi dengan lingkungan alaminya dan berkembang biak untuk menjaga populasi mereka di alam liar. Keberhasilan ini juga menjadi bukti nyata bahwa upaya konservasi yang terintegrasi antara BKSDA dan masyarakat dapat memberikan dampak positif bagi kelestarian satwa endemik Maluku.
Ancaman Perdagangan Ilegal dan Sanksi Hukum
Perdagangan satwa liar ilegal merupakan ancaman serius bagi kelestarian satwa endemik Maluku. Burung Nuri Aru dan Perkici Pelangi, yang dilepasliarkan kali ini, merupakan contoh satwa yang sering menjadi target perdagangan ilegal. Aktivitas ini tidak hanya mengancam populasi satwa, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem.
Pemerintah melalui BKSDA terus berupaya memberantas perdagangan ilegal ini. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 21 ayat (2) huruf a, dijelaskan bahwa barang siapa dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi, akan diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta (Pasal 40 ayat 2).
Sanksi hukum yang tegas ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku perdagangan satwa ilegal. BKSDA Maluku mengajak masyarakat untuk turut serta dalam pengawasan dan pelaporan jika menemukan aktivitas perdagangan satwa liar ilegal.
Upaya pelestarian satwa endemik Maluku membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak. Dengan menjaga kelestarian habitat dan menekan perdagangan ilegal, diharapkan populasi satwa endemik Maluku dapat tetap terjaga untuk generasi mendatang.
Keberhasilan pelepasliarkan tujuh burung endemik ini menjadi bukti nyata bahwa upaya konservasi yang konsisten dan terintegrasi dapat memberikan hasil yang positif. Semoga langkah ini dapat menginspirasi upaya konservasi serupa di daerah lain di Indonesia.