15 Biawak Kuning Dilepasliarkan di Maluku Utara, Upaya Konservasi Selamatkan Spesies Endemik
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku melepasliarkan 15 biawak kuning di habitat aslinya, upaya konservasi untuk melindungi spesies endemik yang terancam punah.

Sebanyak 15 ekor biawak kuning (Varanus melinus) telah berhasil dilepasliarkan ke habitat aslinya di Hutan Desa Waibau, Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Pelepasliaran yang dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku pada Sabtu lalu ini merupakan bagian dari upaya konservasi untuk melindungi spesies endemik yang terancam punah. Proses pelepasliaran diawasi oleh pihak terkait, termasuk dokter hewan dari Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Kelas II Sanana.
Biawak kuning, yang juga dikenal sebagai biawak Banggai, sebelumnya dikirim dari Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) 1 Ternate ke Resort Sanana menggunakan kapal Al Sudais. Menurut Polisi Kehutanan (Polhut) BKSDA Maluku, Seto, pelepasliaran ini penting karena biawak kuning termasuk spesies rentan akibat perburuan liar dan hilangnya habitat alami. Warna tubuhnya yang mencolok menjadikannya target perdagangan ilegal.
"Langkah ini merupakan bagian dari upaya konservasi guna menjaga kelestarian populasi biawak kuning di alam liar," ujar Seto dalam keterangannya di Ambon. Ia menambahkan bahwa pelepasliaran ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi satwa liar dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Upaya Konservasi Biawak Kuning di Maluku Utara
BKSDA Maluku gencar melakukan berbagai upaya untuk melindungi biawak kuning dari ancaman kepunahan. Selain pelepasliaran, BKSDA juga aktif melakukan patroli dan pemantauan terhadap satwa liar, khususnya di wilayah konservasi. Kerja sama dengan aparat penegak hukum juga dilakukan untuk menindak tegas perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan juga menjadi fokus utama. BKSDA berharap, dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, upaya perlindungan keanekaragaman hayati di Kepulauan Sula dan sekitarnya dapat berjalan lebih efektif. Pemberdayaan masyarakat juga dianggap sebagai solusi jangka panjang dalam upaya konservasi ini.
"Edukasi dan pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati di Kepulauan Sula dan sekitarnya," kata Seto.
BKSDA Maluku juga mengajak masyarakat untuk aktif berperan serta dalam melindungi biawak kuning dengan tidak menangkap atau memperjualbelikan satwa ini secara ilegal. Perbuatan tersebut dapat berdampak negatif pada populasi dan keseimbangan lingkungan.
Ancaman dan Sanksi Hukum
Perburuan liar dan perdagangan ilegal merupakan ancaman serius bagi kelestarian biawak kuning. Keunikan warna tubuhnya yang mencolok menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemburu dan pedagang ilegal. Oleh karena itu, perlindungan hukum sangat penting untuk mencegah tindakan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, barang siapa yang sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi, seperti biawak kuning, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta (Pasal 40 ayat (2)).
Dengan adanya sanksi hukum yang tegas, diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku perdagangan ilegal satwa liar. Hal ini penting untuk memastikan kelangsungan hidup biawak kuning dan spesies endemik lainnya di Indonesia.
Langkah-langkah konservasi yang dilakukan oleh BKSDA Maluku ini patut diapresiasi. Semoga upaya ini dapat memberikan dampak positif bagi kelestarian populasi biawak kuning dan menjaga keseimbangan ekosistem di Maluku Utara.