Akademisi USK Sorot Penggunaan UU Konservasi Lama dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Dr. Mukhlis dari USK menyoroti penggunaan UU Konservasi lama (UU No. 5 Tahun 1990) dalam penegakan hukum lingkungan, mendesak penggunaan UU No. 32 Tahun 2024 yang lebih relevan dan adanya standarisasi penanganan kejahatan lingkungan.

Banda Aceh, 09/05 (ANTARA) - Penggunaan Undang-Undang Konservasi yang sudah usang dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia menjadi sorotan. Dr. Mukhlis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), mengungkapkan kekhawatirannya terkait hal ini dalam sebuah seminar di Banda Aceh. Seminar yang bertajuk 'Penegakan Hukum terhadap Satwa Dilindungi' ini menyoroti permasalahan mendesak dalam sistem peradilan lingkungan hidup Indonesia.
Seminar yang diselenggarakan bersama Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HaKA) ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Hakim Agung Ainal Mardhiah, akademisi USK, unsur pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan. Diskusi ini menekankan urgensi pembaruan dalam pendekatan hukum konservasi di Indonesia, khususnya dalam konteks perlindungan satwa langka dan ekosistemnya.
Permasalahan utama yang diangkat adalah masih digunakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebuah undang-undang yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dr. Mukhlis menegaskan, "Undang-undang konservasi lama yakni UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya masih digunakan dalam penegakan hukum. Undang-undang tersebut sudah usang." Seminar ini menjadi wadah penting untuk membahas solusi atas permasalahan tersebut.
UU Konservasi Usang dan Perlunya Standarisasi
Dr. Mukhlis menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 telah diundangkan sebagai perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990. Undang-undang yang baru ini dinilai lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan memberikan hukuman yang lebih tepat bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Beliau menekankan pentingnya penggunaan UU terbaru dalam proses penegakan hukum untuk memastikan efektivitas dan keadilan.
Lebih lanjut, Dr. Mukhlis menyoroti ketidakkonsistenan dalam penanganan kejahatan lingkungan hidup. "Penanganan kejahatan terhadap satwa dilindungi ini harus ada standarisasi, sehingga hakim tidak bias dalam memutuskan perkara tindak pidana lingkungan hidup dan hukuman dijatuhkan berkeadilan," ujarnya. Beliau menekankan perlunya pedoman yang jelas dan seragam dalam menangani berbagai kasus kejahatan lingkungan, mulai dari perburuan gajah hingga pembunuhan harimau.
Ketidakjelasan dalam standar penanganan kasus ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan inkonsistensi dalam putusan pengadilan. Oleh karena itu, standarisasi menjadi kunci penting dalam mewujudkan penegakan hukum lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Hal ini juga akan membantu hakim dalam mengambil keputusan yang tepat dan konsisten.
UU Nomor 5 Tahun 1990, yang telah berusia 35 tahun, dinilai memiliki banyak pasal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan regulasi menjadi sangat penting untuk memastikan perlindungan lingkungan hidup yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Tanggapan Hakim Agung dan Peran Mahkamah Agung
Hakim Agung Ainal Mardhiah mengakui masih adanya penggunaan UU Nomor 5 Tahun 1990 dalam penanganan perkara tindak pidana lingkungan hidup, meskipun UU perubahannya sudah diundangkan. "Kami masih menemui masih ada perkara tindak pidana lingkungan menggunakan UU konservasi lama, sedangkan undang-undang perubahan sudah diundangkan," ungkap Ainal Mardhiah, mantan Ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Mahkamah Agung, menurut Ainal Mardhiah, memberikan perhatian khusus pada perkara-perkara lingkungan hidup. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mewajibkan hakim yang menangani perkara lingkungan hidup untuk memiliki sertifikat khusus. Hal ini bertujuan untuk memastikan kompetensi dan pemahaman yang memadai dalam menangani kasus-kasus tersebut.
Lebih lanjut, Ainal Mardhiah menegaskan komitmen Mahkamah Agung terhadap konservasi dan keberlanjutan lingkungan hidup. "Setiap hakim yang menangani perkara tetap berpihak kepada konservasi dan keberlanjutan lingkungan hidup. Dan setiap hakim yang menangani perkara lingkungan hidup sudah menjalani pelatihan guna meningkatkan kompetensinya," jelasnya. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas hakim dalam memahami dan menerapkan hukum lingkungan yang kompleks dan dinamis.
Dengan adanya pelatihan dan sertifikasi khusus, diharapkan putusan pengadilan terkait kasus lingkungan hidup akan lebih konsisten dan berkeadilan. Hal ini juga akan mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Kesimpulannya, seminar ini telah menyoroti pentingnya pembaruan regulasi dan standarisasi dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Penggunaan UU No. 32 Tahun 2024 dan pelatihan bagi hakim menjadi langkah penting dalam mewujudkan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan, demi melindungi lingkungan hidup dan satwa dilindungi di Indonesia.