Ayah di Lahat Dituntut 19 Tahun Penjara Atas Pelecehan Anak Kandung
Kejari Lahat tuntut ayah pelaku pelecehan seksual terhadap anak kandungnya yang masih berusia 13 tahun dengan hukuman penjara selama 19 tahun dan denda Rp1 miliar.

Seorang ayah di Lahat, Sumatera Selatan, menghadapi tuntutan hukuman penjara 19 tahun atas kasus pelecehan seksual terhadap anak kandungnya yang masih berusia 13 tahun. Kasus ini terungkap setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lahat membacakan tuntutannya di Pengadilan Negeri Lahat pada Selasa. Perbuatan terdakwa, yang berinisial IR, dinilai sangat keji dan telah menyebabkan korban, IF, mengalami trauma mendalam.
Kepala Kejari Lahat, Toto Roedianto, membenarkan tuntutan tersebut. "Hari ini di ruang sidang Pengadilan Negeri Lahat, Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lahat menuntut 19 tahun penjara terhadap terdakwa yakni seorang ayah yang melakukan pelecehan anak kandungnya berusia 13 tahun," ujar Toto saat dikonfirmasi. Tuntutan tersebut didasarkan pada Pasal 81 ayat (3) jo. Pasal 76D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut terdakwa membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Terdakwa IR terbukti telah menyetubuhi anak kandungnya sebanyak tiga kali. Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran serius yang merusak masa depan korban dan menimbulkan trauma psikologis yang signifikan.
Pertimbangan JPU dalam Menjatuhkan Tuntutan
JPU mempertimbangkan berbagai faktor dalam menjatuhkan tuntutan hukuman 19 tahun penjara terhadap terdakwa IR. Salah satu faktor utama adalah dampak psikologis yang dialami korban akibat perbuatan keji sang ayah. Hasil pemeriksaan psikologi menunjukkan bahwa IF mengalami gejala-gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), sebuah gangguan kecemasan yang muncul setelah mengalami peristiwa traumatis.
Perbuatan terdakwa yang menyetubuhi anak kandungnya sendiri sebanyak tiga kali dinilai sebagai tindakan yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini semakin memperkuat alasan JPU untuk menuntut hukuman maksimal. JPU berpendapat bahwa hukuman berat perlu diberikan sebagai efek jera dan perlindungan bagi anak-anak dari kejahatan serupa.
Dalam tuntutannya, JPU menekankan bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan korban secara signifikan. Korban, yang masih berusia 13 tahun, harus menanggung beban psikologis yang berat akibat tindakan ayahnya sendiri. Oleh karena itu, JPU meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan hal tersebut dalam menjatuhkan vonis.
Dampak Psikologis Korban
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dari kekerasan seksual. Korban, IF, mengalami trauma yang mendalam akibat perbuatan ayahnya sendiri. Gejala PTSD yang dialaminya menunjukkan betapa seriusnya dampak psikologis yang ditimbulkan. Perlu adanya dukungan dan pendampingan psikologis yang intensif bagi korban untuk membantu pemulihannya.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya peran orang tua dan lingkungan dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Pencegahan dan edukasi sejak dini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.
Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan memberikan efek jera bagi pelaku. Semoga kasus ini juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan anak dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Putusan pengadilan atas kasus ini sangat dinantikan dan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan bagi korban dan keluarga. Semoga kasus ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih peduli dan melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan.