BCA Cermati Dampak Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Terbaru
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mencermati dampak kebijakan baru DHE terhadap likuiditas valas BCA, terutama bagi eksportir yang sepenuhnya bergantung pada pasar ekspor.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, mengungkapkan bahwa pihaknya masih terus mengamati dampak dari kebijakan terbaru terkait devisa hasil ekspor (DHE) terhadap likuiditas valuta asing (valas) di bank. Kebijakan ini mewajibkan eksportir menyimpan 100 persen DHE dari sumber daya alam (SDA) di dalam negeri selama minimal satu tahun, berbeda dengan aturan sebelumnya yang hanya mewajibkan 30 persen selama tiga bulan.
Kebijakan baru ini mengharuskan eksportir untuk menata ulang strategi pengelolaan keuangan mereka. Pasalnya, DHE biasanya digunakan untuk membiayai operasional bisnis, seperti pembelian bahan baku, penggajian karyawan, dan lainnya. Dampaknya akan berbeda bagi setiap eksportir.
Eksportir yang sebagian besar penjualannya ditujukan untuk pasar domestik mungkin masih memiliki sumber pendanaan lain untuk operasional. Namun, bagi eksportir yang sepenuhnya bergantung pada pasar ekspor, mereka perlu merancang strategi baru agar bisnis tetap berjalan. Jahja mencontohkan perlunya eksplorasi skema back-to-back financing atau menggunakan DHE sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
Oleh karena itu, BCA masih belum bisa memprediksi dampak pasti kebijakan DHE terhadap likuiditas valas mereka. "Ini kan masih peraturan baru, masih harus kami amati. Seberapa besar dampaknya kami masih belum tahu. Nanti kita lihat akhir tahun 2025," jelas Jahja.
Kebijakan baru ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto agar perusahaan atau eksportir menempatkan DHE di perbankan nasional. Presiden menilai kebijakan tersebut wajar, terutama bagi eksportir yang telah memanfaatkan fasilitas kredit dari perbankan nasional. Kebijakan ini diharapkan berlaku efektif dalam waktu satu bulan ke depan.
Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menambahkan bahwa pemerintah menyiapkan berbagai mekanisme pendukung bagi eksportir. Salah satunya adalah memungkinkan penggunaan instrumen penempatan DHE sebagai agunan kredit rupiah dari bank atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga memberikan insentif berupa tarif Pajak Penghasilan (PPh) 0 persen atas pendapatan bunga dari instrumen penempatan devisa hasil ekspor.
Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa instrumen penempatan DHE sebagai agunan akan dikecualikan dari batas maksimal pemberian kredit (BMPK). Hal ini bertujuan untuk tidak mempengaruhi rasio utang perusahaan.
Kesimpulannya, dampak jangka panjang kebijakan DHE terhadap likuiditas valas perbankan nasional, termasuk BCA, masih perlu dipantau. Pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah untuk mendukung eksportir dalam beradaptasi dengan kebijakan baru ini.