BI Diperkirakan Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 5,75 Persen
Kepala Ekonom PermataBank memperkirakan BI akan mempertahankan BI-Rate di level 5,75 persen pada RDG Maret 2025, meskipun ada ketidakpastian global dan penurunan IHSG.

Jakarta, 19 Maret 2025 - Bank Indonesia (BI) diprediksi akan mempertahankan suku bunga acuannya, BI-Rate, pada level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2025. Keputusan ini diambil di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, terutama terkait dengan perang dagang dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede, dalam wawancara dengan ANTARA pada Selasa (18/3).
Josua menjelaskan bahwa meskipun pasar memperkirakan penurunan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate/FFR) yang lebih besar seiring dengan penurunan inflasi di Amerika Serikat, dampak perang dagang yang semakin intens belum sepenuhnya diperhitungkan. Ia memperingatkan potensi peningkatan inflasi AS kembali, yang dapat menyebabkan kebijakan suku bunga AS tetap tinggi lebih lama ('high-for-longer'). Situasi ini berpotensi memicu arus modal keluar ('capital outflow') dan mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain ketidakpastian global, outlook fiskal Indonesia juga menjadi pertimbangan. Meskipun realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Februari 2025 menunjukkan sedikit penurunan, lembaga pemeringkat seperti Fitch masih mempertahankan outlook stable untuk Indonesia. Namun, catatan Fitch menekankan pentingnya manajemen fiskal yang baik.
Ketidakpastian Global dan Dampaknya terhadap Pasar
Keputusan BI dalam RDG Maret 2025 ini juga akan dipengaruhi oleh hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 18-19 Maret 2025. Baik BI maupun FOMC diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan masing-masing, mengingat ketidakpastian global yang tinggi, terutama terkait kebijakan tarif impor AS.
Sentimen negatif di pasar keuangan domestik juga terlihat dari koreksi tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada Selasa (18/3), IHSG ditutup melemah 250 poin (3,84 persen) ke level 6.223, bahkan sempat turun lebih dari lima persen sebelum Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan trading halt. Koreksi ini terjadi meskipun pasar saham AS ditutup positif dan pasar saham Asia cenderung bergerak di zona hijau.
Penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh koreksi tajam di beberapa sektor, seperti teknologi (-9,77 persen), basic material (-5,99 persen), energi (-3,43 persen), dan keuangan (-1,98 persen).
Analisis Data Ekonomi dan Sentimen Pasar
Data penjualan ritel AS pada Februari 2025 yang menunjukkan pemulihan lebih lambat dari yang diperkirakan, semakin memperkuat ekspektasi sikap dovish (longgar) dari Fed. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan Indeks Dolar AS dan yield US Treasury Note 10 tahun.
Namun, beberapa faktor lain juga memberikan sentimen negatif di pasar domestik. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2025 dan 2026. Selain itu, koreksi harga batu bara juga mempengaruhi saham-saham sektor energi.
Josua menambahkan bahwa ketidakpastian terkait kebijakan pemerintah ke depan juga turut memberikan sentimen negatif di pasar keuangan domestik. "Selain itu, beberapa perkembangan terkait kebijakan pemerintah ke depannya yang mungkin dinilai investor masih memberikan ketidakpastian sehingga turut memberikan sentimen negatif di pasar keuangan domestik," kata Josua.
Kesimpulannya, keputusan BI untuk mempertahankan BI-Rate pada level 5,75 persen mencerminkan upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global dan dinamika pasar domestik. Pertimbangan yang matang terhadap berbagai faktor ekonomi makro dan sentimen pasar menjadi kunci dalam menentukan kebijakan moneter ke depan.