Deflasi saat Libur Panjang: Sinyal Bahaya bagi Ekonomi Indonesia?
Ekonom Indef ungkap kekhawatiran deflasi di musim liburan panjang sebagai sinyal bahaya perekonomian Indonesia, disebabkan penurunan daya beli masyarakat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyuarakan kekhawatirannya terkait deflasi yang terjadi di Indonesia selama periode liburan panjang. Fenomena ini, menurutnya, merupakan sinyal bahaya yang mengindikasikan masalah serius dalam perekonomian nasional. Deflasi tersebut terjadi meskipun biasanya pada momen liburan seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, permintaan masyarakat meningkat signifikan.
"(Kalau) musim liburan panjang malah terjadi deflasi, itu malah sangat mengkhawatirkan karena itu momen yang biasanya justru masyarakat Indonesia yang tradisinya sangat kuat, kulturnya sangat beragam dan kuat, tapi malah justru menurunkan demand atau permintaan pada saat musim-musim tersebut. Nah, itu justru malah menjadi sinyal yang bahaya bagi perekonomian," ungkap Eko kepada ANTARA, Jakarta, Jumat.
Secara umum, deflasi di tengah peningkatan permintaan musiman menunjukkan adanya pelemahan daya beli masyarakat. Kondisi ini, menurut Eko, sangat mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian serius pemerintah.
Analisis Deflasi dan Daya Beli Masyarakat
Eko menjelaskan bahwa dalam ilmu ekonomi, deflasi umumnya disebabkan oleh melemahnya permintaan. Meskipun pedagang menurunkan harga, konsumen tetap enggan meningkatkan belanja karena terkendala daya beli. Deflasi yang terjadi secara beruntun selama beberapa bulan menunjukkan penurunan minat belanja masyarakat akibat tergerusnya pendapatan.
"Jadi, memang deflasi kalau terjadi berturut-turut menjadi indikator pelemahan daya beli masyarakat" tegas Eko. Ia menekankan bahwa deflasi bukanlah prestasi ekonomi, melainkan sebuah tantangan yang lebih rumit untuk diatasi dibandingkan inflasi.
Mengatasi inflasi, menurut Eko, relatif lebih mudah karena masih ada permintaan yang kuat. Strategi yang dapat diterapkan adalah menambah persediaan barang, memperbaiki distribusi, dan menjaga stabilitas harga. Namun, deflasi yang disebabkan oleh penurunan pendapatan memerlukan pendekatan yang berbeda, yaitu meningkatkan penghasilan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
"Jadi, bukan prestasi ya deflasi itu," pungkas Ekonom Indef tersebut.
Deflasi Februari 2025 dan Komponen Penyebabnya
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, melaporkan deflasi tahunan sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) pada Februari 2025. Ini merupakan deflasi tahunan pertama sejak Maret 2000. Deflasi ini sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan PLN dengan daya 2.200 VA atau lebih rendah.
Komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi 9,02 persen yoy, berkontribusi sebesar 1,77 persen terhadap deflasi tahunan. Menariknya, komponen inti dan komponen bergejolak (volatile) masih mengalami inflasi tahunan. Komponen inti, yang biasanya mencerminkan daya beli masyarakat, mengalami inflasi 2,48 persen yoy, berkontribusi 1,58 persen terhadap inflasi tahunan.
Meskipun terjadi deflasi secara keseluruhan, inflasi pada komponen inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat relatif masih terjaga. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menganalisis dampak deflasi terhadap perekonomian Indonesia.
Kesimpulannya, deflasi yang terjadi di Indonesia, khususnya selama periode liburan panjang, perlu diwaspadai sebagai sinyal bahaya bagi perekonomian. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mengatasi akar penyebab deflasi yang berkelanjutan.