Deflasi di Indonesia: Sinyal Bahaya atau Penyesuaian Sehat?
Indonesia mengalami deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir; apakah ini pertanda ekonomi melemah atau siklus penyesuaian harga yang normal?

Pada Februari 2025, Indonesia mencatatkan deflasi tahunan sebesar 0,09 persen dan deflasi bulanan 0,48 persen. Ini merupakan peristiwa langka, menandai deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir, sejak Maret 2000. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengumumkan data ini, memicu pertanyaan tentang dampaknya terhadap perekonomian nasional. Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah deflasi ini menandakan pelemahan ekonomi atau hanya bagian dari siklus penyesuaian harga yang wajar?
Deflasi, penurunan harga barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu, umumnya dianggap menguntungkan konsumen. Namun, deflasi yang berkepanjangan dapat menjadi sinyal bahaya, terutama jika disebabkan oleh lemahnya permintaan dan investasi. Pengalaman Jepang dengan the lost decade, periode deflasi berkepanjangan yang menyebabkan stagnasi ekonomi, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.
Meskipun deflasi terjadi, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, berpendapat bahwa deflasi di Indonesia pada Februari 2025 sebagian besar disebabkan oleh faktor sementara, bukan perubahan mendasar dalam dinamika harga. Intervensi pemerintah, seperti diskon tarif listrik dan pengendalian harga pangan, telah menekan inflasi. Namun, dampak kebijakan ini bersifat sementara, dan tekanan harga mungkin akan kembali muncul di masa mendatang.
Faktor Penyebab Deflasi dan Analisis Lebih Dalam
Beberapa faktor utama berkontribusi pada deflasi Februari 2025, termasuk penurunan harga energi (khususnya listrik akibat diskon 50 persen dari pemerintah), dan koreksi harga pangan karena peningkatan pasokan. Penurunan harga beras, tomat, dan cabai merah turut mendorong deflasi. Namun, inflasi inti tetap berada di level 2,48 persen, menunjukkan bahwa tekanan harga dari sisi permintaan belum sepenuhnya melemah.
Meskipun sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pemerintah, deflasi tetap menjadi perhatian serius. Jika tren penurunan harga berlanjut dan mempengaruhi investasi serta produksi, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar penyesuaian harga. Indonesia perlu belajar dari pengalaman Jepang dan mencegah jebakan stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.
Data BPS menunjukkan bahwa inflasi inti masih berada di level 2,48 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan harga dari sisi permintaan belum benar-benar melemah. Namun, jika tren penurunan harga terus berlanjut dan mempengaruhi investasi serta produksi, maka dampaknya bisa lebih dalam dari sekadar penyesuaian harga.
Pemerintah perlu lebih aktif dalam menjaga keseimbangan antara stimulus fiskal dan stabilitas harga. Insentif listrik yang diberikan membantu masyarakat dalam jangka pendek, tetapi kebijakan ini sebaiknya disertai dengan langkah lanjutan untuk memastikan permintaan tetap stabil.
Rekomendasi dan Strategi Menghadapi Deflasi
Untuk mengantisipasi potensi stagnasi atau resesi, beberapa rekomendasi konkret dapat diimplementasikan dalam jangka pendek dan menengah. Pemerintah dapat mendorong sektor riil dengan mempercepat realisasi belanja modal negara untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan. Sektor manufaktur dan UMKM juga perlu mendapat dukungan, seperti insentif pajak dan kemudahan akses pembiayaan.
Dalam sektor keuangan, perbankan perlu memastikan kredit tetap mengalir ke sektor produktif. Kebijakan perbankan yang proaktif dalam menyalurkan kredit ke sektor riil sangat penting untuk mencegah masyarakat dan dunia usaha lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya. Untuk jangka panjang, Indonesia perlu memastikan pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada stimulus jangka pendek, tetapi juga pada inovasi dan peningkatan daya saing.
Pengembangan industri berbasis teknologi, investasi dalam riset dan pengembangan, serta kebijakan yang mendukung transformasi ekonomi digital merupakan langkah strategis untuk memastikan ekonomi tetap tumbuh meskipun menghadapi tekanan harga. Komunikasi yang jelas dari pemerintah dan Bank Indonesia juga penting untuk mengelola sentimen pasar dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Survei dari UKMINDONESIA.ID menunjukkan optimisme di kalangan UMKM, dengan 71 persen responden mengaku optimistis dapat meningkatkan keuntungan di bulan Ramadhan. Ini menjadi sinyal positif bahwa daya beli masih ada dan pertumbuhan ekonomi masih dapat dicapai.
Deflasi Februari 2025 merupakan cerminan dari dinamika ekonomi yang kompleks. Dengan kebijakan fiskal yang tepat, langkah moneter yang terukur, serta peran aktif dunia usaha dan masyarakat, Indonesia dapat melewati tantangan ini dan memastikan pertumbuhan ekonomi tetap berkelanjutan.