DPR Desak Evaluasi Total Sistem Pengawasan Lapas Usai Dua Napi Meninggal di Bukittinggi
Tragedi pesta miras oplosan di Lapas Bukittinggi yang menewaskan dua napi dan meracuni 23 lainnya, mendorong DPR mendesak evaluasi total sistem pengawasan lapas di Indonesia.

Tragedi Miris di Lapas Bukittinggi: Dua Napi Meninggal Akibat Miras Oplosan
Kejadian memilukan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Bukittinggi, Sumatera Barat. Dua narapidana meninggal dunia dan 23 lainnya mengalami keracunan akibat pesta miras oplosan pada 3 Mei 2025. Peristiwa ini mengungkap celah serius dalam sistem pengawasan lapas dan menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak, termasuk DPR RI.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Ia menyatakan, "Kami sangat prihatin dengan kejadian ini. Bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya memberikan pengawasan maksimal justru kecolongan?" Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan dan tuntutan akan pertanggungjawaban atas lemahnya pengawasan di Lapas Bukittinggi.
Berdasarkan temuan awal, para napi diduga mengoplos alkohol yang berasal dari kegiatan pembuatan parfum di dalam lapas. Alkohol tersebut kemudian dicampur dengan minuman sachet, es batu, dan air sebelum dikonsumsi. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana bahan-bahan berbahaya tersebut dapat masuk dan diakses oleh para napi.
Desakan Evaluasi Total dan Sanksi Tegas
Mafirion menegaskan perlunya evaluasi total sistem pengawasan lapas, termasuk penjatuhan sanksi tegas terhadap pejabat yang terbukti lalai. Ia menyatakan bahwa kasus ini bukan yang pertama, mengingat sebelumnya juga terjadi kasus serupa di Rutan Pekanbaru. "Belum selesai satu kasus diselidiki, sudah muncul kasus baru. Ini persoalan serius yang tidak boleh dibiarkan," tegasnya.
Wakil rakyat ini juga mempertanyakan lemahnya pengawasan yang memungkinkan napi memperoleh alkohol dari kegiatan mandiri yang seharusnya produktif. Ia mendesak Ditjenpas Wilayah Sumatera Barat untuk melakukan investigasi independen secara terbuka, termasuk pemeriksaan terhadap seluruh petugas lapas. Sanksi administratif, seperti penundaan kenaikan pangkat atau pembebasan tugas, dianggapnya tidak lagi cukup.
Mafirion menekankan pentingnya pemberian sanksi tegas jika ditemukan kelalaian atau keterlibatan petugas lapas dalam kasus ini. "Jika ditemukan kelalaian atau keterlibatan, sanksi tegas harus diberikan," jelasnya. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan DPR dalam menuntut pertanggungjawaban dan pencegahan kejadian serupa di masa mendatang.
Ia juga mengingatkan bahwa warga binaan tetaplah manusia yang berhak atas pengawasan dan perlindungan selama menjalani masa hukuman. "Jangan anggap remeh kematian napi. Mereka tetap manusia dan punya keluarga. Pengawasan dan perlindungan di dalam lapas adalah tanggung jawab negara," ucapnya.
Perlunya Peta Jalan Pembenahan Sistem Pemasyarakatan
Mafirion mengungkapkan bahwa DPR telah lama mendorong penyusunan peta jalan pembenahan sistem pemasyarakatan. Namun, usulan tersebut hingga kini belum dijalankan secara serius. Ia menekankan bahwa dengan adanya peta jalan, akar masalah dapat ditelusuri dan solusi konkret dapat diterapkan.
Ketiadaan peta jalan tersebut dinilai menjadi salah satu faktor penyebab berulangnya kasus serupa di berbagai lapas dan rutan di Indonesia. "Kalau tak ada langkah cepat dan tegas dari pemerintah, khususnya Ditjenpas, jangan heran jika kasus-kasus semacam ini terus terjadi tanpa solusi," ujarnya. Pernyataan ini menjadi penutup yang menekankan urgensi tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah sistemik dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Kejadian di Lapas Bukittinggi menjadi pengingat penting akan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Evaluasi total, sanksi tegas, dan penyusunan peta jalan pembenahan menjadi langkah krusial untuk mencegah tragedi serupa terulang dan memastikan perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh warga binaan.