DPR Diminta Cermat Bahas RUU KUHAP: Waspada Potensi Masalah Hukum
Pengamat hukum UNS mengingatkan DPR agar teliti dalam membahas RUU KUHAP, khususnya terkait penghapusan penyelidikan dan potensi ketidakseimbangan jumlah penyidik dengan laporan masyarakat.
Semarang, 27 Januari 2024 - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak untuk berhati-hati dalam merancang dan membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Peringatan ini disampaikan oleh pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Rustamaji, yang menekankan perlunya ketelitian DPR dalam menyusun aturan hukum yang baru ini.
Salah satu poin penting yang disoroti Rustamaji adalah kemungkinan dihapuskannya tahap penyelidikan dalam RUU KUHAP. Menurutnya, perubahan ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah dalam penegakan hukum. "Konsep baru dalam RUU KUHAP harus memperhatikan sinkronisasi kewenangan dalam integrasi proses penegakan hukum," tegas Rustamaji.
Tanpa tahap penyelidikan, setiap laporan dugaan tindak pidana akan langsung masuk ke tahap penyidikan. Hal ini dikhawatirkan akan memicu lonjakan kasus yang ditangani penyidik. Rustamaji menjelaskan, "Penyidikan suatu tindak pidana yang tidak didahului dengan penyelidikan akan memunculkan masyarakat yang suka menuntut, mengakibatkan addictive to law."
Lebih lanjut, Rustamaji memprediksi akan terjadi ketidakseimbangan antara jumlah penyidik dan banyaknya laporan masyarakat. "Selama ini, dugaan tindak pidana biasanya melalui laporan atau aduan. Jika setiap laporan langsung disidik, akan terjadi kelebihan perkara di tahap penyidikan karena rasio jumlah penyidik dengan laporan masyarakat tidak berimbang," imbuhnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan dalam proses penegakan hukum.
Selain itu, pengamat hukum tersebut juga menyoroti pengaturan upaya paksa dalam RUU KUHAP. Rustamaji menilai, formulasi upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, belum tersusun secara sistematis dan urut dalam RUU tersebut. Lebih mengkhawatirkan lagi, tindakan pendukung penyidikan seperti penyadapan dan penggunaan data intelijen untuk jenis kejahatan tertentu, tidak diakomodasi.
Kekurangan-kekurangan tersebut, menurut Rustamaji, membuat DPR perlu melakukan kajian yang lebih mendalam dan cermat dalam membahas RUU KUHAP. Ia menekankan pentingnya perhatian terhadap potensi masalah yang mungkin muncul akibat perubahan aturan hukum ini. Pembahasan yang cermat dan berhati-hati menjadi kunci agar RUU KUHAP yang baru dapat berjalan efektif dan berkeadilan.
Sebagai informasi tambahan, Komisi III DPR RI telah memulai pembahasan RUU KUHAP pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. Target DPR adalah agar KUHAP baru ini berlaku bersamaan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026. Hal ini didasari pada semangat keselarasan politik hukum antara KUHAP dan KUHP.