Kewenangan Berlebih Jaksa dalam RUU KUHAP Ancam Keseimbangan Peradilan?
Pakar hukum tata negara khawatir kewenangan berlebihan Jaksa dalam RUU KUHAP berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan mengancam keseimbangan peradilan di Indonesia.

Jember, Jawa Timur, 20 Februari 2024 (ANTARA) - Pemberian kewenangan yang berlebihan kepada Kejaksaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi sorotan pakar hukum tata negara. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan sistem peradilan dan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Seminar nasional di UIN KHAS Jember, Kamis lalu, menjadi forum diskusi mengenai isu krusial ini.
Prof. M Noor Harisudin, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi abuse of power. Menurutnya, tanpa perubahan signifikan, RUU KUHAP berisiko mengancam keseimbangan sistem peradilan. Seminar yang diadakan oleh Pusat Kajian Keislaman dan Bantuan Hukum (PK2BH) YPI Darul Hikam, LKBHI UIN KHAS Jember, dan Pengurus Cabang Fatayat NU Jember ini membahas secara mendalam tentang kesetaraan peran dan kewenangan dalam RUU KUHAP.
Permasalahan ini semakin diperumit dengan sistem hukum Indonesia yang berbeda dengan negara seperti Belanda. Di Belanda, dengan jumlah penduduk hanya 17 juta, sistem hirarki dengan jaksa sebagai pihak dominan mungkin dapat diterapkan. Namun, di Indonesia dengan populasi 280 juta jiwa, sistem serupa dinilai berbahaya dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Kekhawatiran akan hilangnya sistem check and balance juga menjadi sorotan utama.
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan dan Ketimpangan Kewenangan
Prof. Harisudin menekankan bahwa jika RUU KUHAP disahkan tanpa perubahan substansial, maka akan terjadi ketimpangan kewenangan yang signifikan. Kejaksaan berpotensi menjadi lembaga super body yang tak terkendali dan rawan penyimpangan. Ia memperingatkan bahwa sentralisasi pengendalian perkara justru dapat memperlambat proses hukum, terutama untuk perkara di daerah. Hal ini dapat menyebabkan hambatan proses hukum dan menambah ketidakpastian hukum.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa kewenangan yang terpusat pada satu lembaga meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. "Sudah banyak kasus penyimpangan di kalangan polisi, jaksa, hakim, hingga advokat," tegasnya. Beliau juga menyoroti potensi konflik antara kepolisian dan kejaksaan akibat perbedaan kewenangan yang signifikan. Selama ini, kedua lembaga tersebut berjalan dengan posisi yang relatif setara.
Selain itu, Prof. Harisudin juga menyarankan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di peradilan. Ia mengusulkan agar penyidik kepolisian mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi untuk meningkatkan profesionalitas kerja. "Evaluasi lebih lanjut terhadap RUU KUHAP sebelum disahkan sangat penting. Revisi KUHAP harus memperbaiki sistem yang ada, bukan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar," ujarnya.
Pendapat Pakar Hukum Pidana
Senada dengan Prof. Harisudin, Prof. Arief Amrullah, Guru Besar Hukum Pidana Unej, juga menyoroti potensi ketimpangan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dalam RUU KUHAP. Ia mengingatkan agar konsep dominus litis yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak diartikan sebagai dominasi lembaga tertentu. "Kewenangan penyidikan ada pada kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada kejaksaan. Jangan sampai RUU KUHAP membuat satu lembaga lebih tinggi dari yang lain," katanya.
Prof. Amrullah menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan menghindari dominasi satu lembaga atas lembaga lainnya dalam proses penegakan hukum. Hal ini penting untuk memastikan keadilan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. RUU KUHAP seharusnya menjadi instrumen yang memperkuat sistem peradilan, bukan melemahkannya.
Kesimpulannya, RUU KUHAP perlu mendapat perhatian serius dan evaluasi menyeluruh sebelum disahkan. Pertimbangan matang terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan dan dampaknya terhadap keseimbangan sistem peradilan sangatlah krusial. Peningkatan kualitas SDM dan pembagian kewenangan yang seimbang antara lembaga penegak hukum juga menjadi hal yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan.