Dominus Litis dalam RKUHAP: Potensi Gangguan pada Sistem Checks and Balances
Pakar Hukum Pidana UM Surabaya menyoroti potensi gangguan prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana akibat perluasan kewenangan Jaksa sebagai dominus litis dalam RKUHAP.
![Dominus Litis dalam RKUHAP: Potensi Gangguan pada Sistem Checks and Balances](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/08/120033.112-dominus-litis-dalam-rkuhap-potensi-gangguan-pada-sistem-checks-and-balances-1.jpg)
Surabaya, 8 Februari 2024 - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang memberikan kewenangan luas kepada Kejaksaan sebagai dominus litis menuai sorotan. Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Samsul Arifin, menilai perluasan tersebut berpotensi mengganggu prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Kekhawatiran atas Perluasan Kewenangan Jaksa
Samsul Arifin mengungkapkan kekhawatirannya terkait perluasan kewenangan Kejaksaan dalam RKUHAP. Ia menyatakan bahwa rancangan tersebut memberikan kontrol yang hampir absolut kepada Kejaksaan, melampaui batasan yang sebelumnya diterapkan. "Jika sebelumnya asas dominus litis memberikan kontrol kepada kejaksaan dalam batasan tertentu, rancangan baru justru memperkuat posisi kejaksaan dengan memberikan hak kontrol yang hampir absolut," ujar Arifin dalam keterangannya di Surabaya.
Menurut Arifin, kontrol yang berlebihan kepada satu lembaga penegak hukum dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan antar lembaga. Hal ini berpotensi mengacaukan prinsip checks and balances yang selama ini menjadi pilar penting dalam criminal justice system Indonesia. Sistem ini menjamin adanya keseimbangan kekuasaan di antara lembaga penegak hukum, memastikan proses penegakan hukum berjalan adil dan proporsional.
Intervensi Kejaksaan dan Keseimbangan Peran Lembaga Penegak Hukum
Salah satu poin yang disoroti Arifin adalah kewenangan Kejaksaan untuk melakukan intervensi jika Kepolisian tidak mengambil tindakan dalam waktu 14 hari. "Kewenangan ini memunculkan perdebatan terkait keseimbangan peran antar-lembaga penegak hukum," tegasnya. Ia menambahkan bahwa intervensi tersebut membawa Kejaksaan masuk lebih awal ke tahap penyelidikan dan penyidikan, yang selama ini menjadi ranah Kepolisian. Arifin mempertanyakan perlunya perubahan ini, mengingat sebelumnya tidak ada persoalan signifikan terkait hal tersebut.
Kewenangan Penentuan Keabsahan Tindakan Hukum
RKUHAP juga menimbulkan kekhawatiran terkait penentuan sah atau tidaknya tindakan hukum seperti penangkapan dan penyitaan. Selama ini, kewenangan tersebut menjadi hak prerogatif hakim melalui mekanisme pra-peradilan. Hakim menilai apakah proses hukum telah sesuai aturan atau melanggar hak asasi tersangka. Namun, RKUHAP baru berpotensi menggeser kewenangan ini ke Kejaksaan, memberikan peran lebih dominan dalam menilai keabsahan proses sebelum perkara diajukan ke pengadilan.
Arifin menolak argumen efisiensi sebagai dasar perubahan tersebut. Menurutnya, efisiensi semata tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan penegakan hukum. Lebih penting lagi untuk menjaga prinsip keadilan dan independensi lembaga penegak hukum.
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan dan Ancaman Independensi Lembaga
Dengan kewenangan yang semakin luas, terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat mengancam independensi lembaga lain, terutama Kepolisian dan Pengadilan. Kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam memastikan proses hukum berjalan sesuai prinsip keadilan. Oleh karena itu, perlu pertimbangan matang dan diskusi yang komprehensif sebelum RKUHAP disahkan untuk menghindari potensi disharmoni dan ketidakseimbangan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Kesimpulannya, perluasan kewenangan Kejaksaan sebagai dominus litis dalam RKUHAP perlu dikaji ulang secara mendalam. Potensi gangguan terhadap prinsip checks and balances dan ancaman terhadap independensi lembaga penegak hukum lainnya perlu menjadi pertimbangan utama dalam proses legislasi.