RUU KUHP dan Kekhawatiran Tumpang Tindih Kewenangan Penegakan Hukum
Ketua Umum PBH Perhakhi, Pitra Romadoni Nasution, menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum akibat asas dominus litis dalam RUU KUHP, yang dapat melemahkan kepolisian dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
![RUU KUHP dan Kekhawatiran Tumpang Tindih Kewenangan Penegakan Hukum](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/08/190250.538-ruu-kuhp-dan-kekhawatiran-tumpang-tindih-kewenangan-penegakan-hukum-1.jpg)
Surabaya, 8 Februari 2024 - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHP) tengah menjadi sorotan, khususnya terkait penerapan asas dominus litis. Ketua Umum Pusat Bantuan Hukum Perkumpulan Penasihat dan Konsultan Hukum Indonesia (PBH Perhakhi), Pitra Romadoni Nasution, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum antar lembaga jika RUU ini disahkan.
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
Pitra Romadoni Nasution, dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu lalu, menyatakan bahwa pemberian kewenangan kepada jaksa untuk menentukan kelanjutan suatu perkara (asas dominus litis) berpotensi menimbulkan konflik. "Apabila kewenangan tersebut dimiliki oleh jaksa, tentu akan menimbulkan tumpang tindih dalam penegakan kepastian hukum," tegasnya. Ia menambahkan bahwa hal ini akan mengambil alih kewenangan kepolisian dalam proses pengungkapan dan penghentian suatu perkara.
Menurut Pitra, peran jaksa seharusnya difokuskan pada penelitian berkas perkara yang diajukan penyidik kepolisian dan proses penuntutan. "Saya kira kewenangan jaksa cukup hanya sebagai peneliti berkas yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan," ujarnya. Ia khawatir, jika RUU KUHP disahkan, akan muncul standar ganda dalam penegakan hukum, yang pada akhirnya melemahkan kinerja kepolisian dalam mengungkap suatu kasus.
Kekhawatiran terhadap Dualisme dan Ketidakpastian Hukum
Lebih lanjut, Pitra menjelaskan bahwa pemberian wewenang kepada jaksa untuk menghentikan suatu perkara yang telah dilimpahkan kepolisian akan menciptakan dualisme kepentingan. "Apabila jaksa diberi wewenang untuk menghentikan suatu perkara yang dilimpahkan oleh kepolisian, kata dia, akan menimbulkan dualisme kepentingan penegakan hukum yang berujung pada ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan." Kondisi ini, menurutnya, akan menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan dalam proses penegakan hukum.
Ia menekankan bahwa pembaruan KUHAP seharusnya memprioritaskan kepastian hukum dengan mengedepankan proses penanganan perkara yang cepat, sederhana, dan hemat biaya. "Bukan menimbulkan multitafsir baru yang memicu terjadinya konflik kepentingan penegakan hukum antar institusi dan tumpang tindih kewenangan-kewenangan," tandasnya. Pitra menilai, RUU KUHP justru berpotensi menimbulkan ketidakjelasan karena baik kepolisian maupun kejaksaan memiliki wewenang untuk menghentikan perkara pidana.
Wewenang Jaksa dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Selain kewenangan penuntutan, Pitra juga menyoroti kewenangan pengendalian penyidikan yang diberikan kepada jaksa dalam RUU KUHP. "Ini tentu berpotensi terjadinya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dalam penegakan hukum dalam menciptakan kepastian hukum," ujarnya. Ia khawatir potensi penyalahgunaan wewenang ini akan semakin memperumit dan mengaburkan proses penegakan hukum di Indonesia.
Kesimpulannya, PBH Perhakhi memiliki kekhawatiran serius terhadap potensi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh asas dominus litis dalam RUU KUHP. Mereka menekankan pentingnya menjaga keseimbangan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan untuk memastikan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.