RKUHP dan UU Kejaksaan: Potensi Tumpang Tindih Kewenangan Penegak Hukum
Pakar Hukum Administrasi Unair Prof. Sri Winarsi menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan akibat RKUHP dan UU Kejaksaan yang baru, mengancam prinsip diferensiasi fungsional dan check and balances dalam penegakan hukum In
Potensi tumpang tindih kebijakan di antara lembaga penegak hukum Indonesia menjadi sorotan. Prof. Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H., pakar Hukum Administrasi Universitas Airlangga, mengungkapkan kekhawatirannya terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang tentang Kejaksaan yang baru disahkan. Permasalahan ini muncul di Surabaya, pada Selasa, 4 Januari 2024.
Menurut Prof. Winarsi, UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, khususnya Pasal 30B huruf a, sangat kontroversial. Pasal tersebut memberikan kewenangan besar kepada kejaksaan, termasuk ruang lingkup intelijen penegakan hukum yang masih kabur dan berpotensi diinterpretasikan sebagai kewenangan penyelidikan, yang seharusnya menjadi ranah kepolisian.
Hal ini, tegasnya, bertolak belakang dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam KUHP dan administrasi publik. Ketidakjelasan pembagian tugas antara kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, serta kejaksaan sebagai penuntut, dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan menghambat sinergi antar lembaga.
Lebih lanjut, Prof. Winarsi menekankan pentingnya prinsip check and balances. Dengan kewenangan yang tidak terdefinisi secara jelas, pengawasan menjadi sulit, dan potensi penyalahgunaan wewenang meningkat. Lembaga penegak hukum seharusnya bekerja secara proporsional, tidak ada yang over power atau menjadi 'super body'.
Ia menambahkan bahwa tumpang tindih kewenangan juga berdampak pada masyarakat. Contohnya, perbedaan regulasi antara Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang keadilan restoratif dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 menyebabkan proses restorative justice menjadi lambat atau terhambat karena ketidakjelasan kewenangan.
Prof. Winarsi menjelaskan bahwa restorative justice, yang idealnya menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas, terganggu oleh ketidakjelasan tugas dan kewenangan. Kejelasan dan pengawasan yang efektif antar lembaga sangat penting agar pendekatan ini dapat berjalan optimal.
Tumpang tindih kewenangan ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Jika lembaga penegak hukum tampak bersaing, bukannya bersinergi, legitimasi hukum akan tergerus. Oleh karena itu, reformasi hukum yang komprehensif menjadi sangat mendesak untuk dilakukan,” tegasnya.