RUU KUHAP: Akademisi Tekankan Detail Wewenang Hukum untuk Hindari Tumpang Tindih
Prof. Tongat dari UMM menekankan pentingnya detail wewenang lembaga hukum dalam RUU KUHAP untuk mencegah tumpang tindih dan memastikan optimalisasi restorative justice.

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tengah menjadi sorotan. Prof. Tongat, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada Kamis, 30 Januari 2024 di Malang, Jawa Timur, menyatakan perlunya detail pengaturan wewenang lembaga hukum dalam RUU ini. Hal ini penting untuk mencegah tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum.
Menurut Prof. Tongat, pembahasan RUU KUHAP harus memperjelas distribusi kewenangan masing-masing lembaga. Kejelasan ini krusial agar penanganan kasus tindak pidana lebih efektif dan terhindar dari ambiguitas. "Distribusi kewenangan masing-masing lembaga hukum harus diperjelas supaya tidak menimbulkan tumpang tindih," tegasnya.
Ia mencontohkan potensi konflik kewenangan terkait pelaporan tindak pidana. Saat ini, kewenangan tersebut umumnya berada di kepolisian. Namun, jika kewenangan serupa juga diberikan kepada kejaksaan, hal ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dalam proses hukum. "Misalnya terkait pelaporan tindak pidana yang selama ini menjadi kewenangan kepolisian, kemudian misalnya kalau itu juga diberikan ke kejaksaan berpotensi menimbulkan ketidakjelasan atau samar," jelasnya.
Restorative Justice dan Sinergitas Lembaga Hukum
Prof. Tongat juga menekankan pentingnya sinkronisasi antar lembaga penegak hukum dalam penerapan restorative justice. Penerapan yang konsisten memerlukan aturan yang jelas dan terintegrasi. "Kalau berbicara tentang restorative justice, maka memastikan dampak-dampak yang muncul dari penerapan peradilan pidana," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar RUU KUHAP mengatur jalur pendelegasian kepada lembaga yang paling tepat untuk menjalankan restorative justice. Jika pelaporan awal dilakukan ke kepolisian, maka proses restorative justice idealnya juga ditangani oleh kepolisian. Hal ini untuk meminimalisir dampak negatif dari proses peradilan pidana.
"Karena kepolisian itu adalah starting dari mekanisme peradilan pidana, semakin dini semakin baik. Karena untuk menghindari berbagai dampak negatif yang mungkin timbul akibat proses peradilan pidana," kata Prof. Tongat.
Prinsip Kehati-hatian dalam Pembahasan RUU KUHAP
Prof. Tongat juga mengingatkan pentingnya prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI. Sebagai induk dari penegakan hukum, KUHAP menjadi rujukan utama bagi semua lembaga penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. "KUHAP itu kan sebagai induk penegakan hukum (proses penyelesaian tindak pidana), sehingga menjadi rujukan terhadap semua aturan tentang penegakan hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, kehakiman," tutupnya.