Eks Gubernur Bengkulu Terima Gratifikasi Rp30,3 Miliar untuk Pilkada 2024
Jaksa KPK mengungkapkan mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menerima gratifikasi Rp30,3 miliar dari berbagai pihak untuk membiayai pencalonannya di Pilkada 2024.

Mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, didakwa menerima gratifikasi senilai Rp30,3 miliar dari berbagai sumber untuk mendanai pencalonannya dalam Pilkada 2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan hal ini di Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu pada Senin, 21 April 2024. Informasi ini mengejutkan publik dan menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dana kampanye dalam politik Indonesia.
Menurut JPU KPK, Ade Azhari, dana gratifikasi tersebut diterima dalam bentuk mata uang rupiah, dolar Singapura, dan dolar Amerika Serikat. Penerimaan dana dilakukan melalui beberapa perantara, termasuk ajudan Rohidin, Evriansyah alias Anca; Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu non aktif, Isnan Fajri; dan mantan Kepala Biro Umum Setda Provinsi Bengkulu, Alfian Martedy. Proses penerimaan dan penyaluran dana ini tercatat secara rinci dalam sebuah file Excel bernama 'Catatan Keuangan Anca' yang ditemukan di laptop ajudan tersebut.
Kasus ini mengungkap dugaan praktik korupsi yang sistematis dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengusaha hingga kepala daerah. Besarnya jumlah dana yang diterima dan beragamnya sumber dana menunjukkan adanya potensi pelanggaran hukum yang serius. Publik menantikan proses hukum yang transparan dan adil untuk mengungkap seluruh jaringan dan aktor yang terlibat dalam kasus ini.
Sumber Gratifikasi Rp30,3 Miliar
JPU KPK merinci sumber-sumber gratifikasi yang diterima Rohidin Mersyah. Sebesar Rp19,1 miliar berasal dari Haris, seorang pengusaha batu bara dan sawit. Keluarga dari Bank Bengkulu, yaitu Dede Arga Putra, Olivia Lesiana, dan Pandita Juniarti, menyumbang Rp2,3 miliar. Sejumlah kepala daerah di Provinsi Bengkulu yang juga ikut Pilkada 2024, termasuk Bupati Kaur, mantan Bupati Seluma, Bupati Bengkulu Tengah, Bupati Bengkulu Utara, dan Bupati Kepahiang, memberikan total Rp2,1 miliar.
Selain itu, politisi seperti Sumardi, Samsul Aswajar, Dodi Martian, Januardi, Ichram Nur, Hidayah, Zamhari, Ansori M, Lukman Efendi, dan Ahmad Lutfi memberikan Rp3,5 miliar. Komisaris PT Cereno Energi Selaras dan PT Cakrawala Dinamika Energi menyumbang Rp1,5 miliar, sementara Direktur PT Slamat Jaya Pratama, Dedeng, memberikan Rp500 juta. Kepala sekolah SMA sederajat di Kota Bengkulu juga menyetorkan Rp1,2 miliar.
Tidak hanya uang rupiah, Rohidin juga menerima 30.000 dolar AS dari Tjandra Teresna Widjaja, Direktur PT Firman Ketaun, dan 12.715 dolar AS dari pihak yang tidak diidentifikasi. Ia juga menerima 14.500 kaos senilai Rp130 juta dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Bengkulu (APBB) melalui Kepala Dinas ESDM Provinsi Bengkulu, Doni Swabuana. Beberapa kepala OPD di lingkungan Pemprov Bengkulu, seperti Kepala Diskominfo, Kepala DKP, Kepala Satpol PP, dan Kepala Dinas PU, juga memberikan sumbangan.
Sistematika Penerimaan Gratifikasi
Modus operandi yang digunakan dalam penerimaan gratifikasi ini terbilang sistematis. Seluruh aliran dana yang diterima Rohidin Mersyah tercatat secara rinci oleh ajudannya, Anca, dalam sebuah file Excel bernama 'Catatan Keuangan Anca'. Hal ini menunjukkan adanya perencanaan dan upaya untuk menyembunyikan jejak aliran dana tersebut. Keberadaan file Excel ini menjadi bukti penting dalam proses pengungkapan kasus ini.
Proses penerimaan gratifikasi ini melibatkan berbagai pihak dan menunjukkan adanya jaringan yang terstruktur. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum untuk mengungkap seluruh jaringan dan aktor yang terlibat. Proses hukum yang transparan dan menyeluruh sangat penting untuk memastikan keadilan dan mencegah terulangnya praktik serupa di masa depan.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan kekhawatiran tentang integritas penyelenggaraan pemerintahan dan proses demokrasi di Indonesia. Proses hukum yang berjalan diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan efek jera bagi pelaku korupsi.
Proses hukum terhadap Rohidin Mersyah dan pihak-pihak yang terlibat masih terus berlangsung. Publik menantikan hasil akhir dari proses hukum ini dan berharap agar kasus ini dapat menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses demokrasi.