Ekspansi Sawit Kalbar: Nasib Buruh Terabaikan di Tengah Keuntungan Korporasi?
Ekspansi industri sawit di Kalimantan Barat justru memperburuk nasib buruh akibat sistem kerja yang tidak manusiawi dan upah rendah, mendesak pemerintah untuk melakukan perlindungan buruh.

Direktur Eksekutif Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, mengungkapkan kondisi memprihatinkan para buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Meskipun industri sawit di provinsi ini berkembang pesat, mencapai 4,36 juta hektare dan diproyeksikan meningkat hingga lebih dari 5 juta hektare, hak-hak dasar para buruh justru terabaikan. Pernyataan ini disampaikan Syukri di Pontianak, Jumat (2 Mei 2025), dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia.
Syukri memaparkan, ekspansi besar-besaran industri sawit justru memperparah kondisi sosial ekonomi para buruh. Mereka masih berjuang melawan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak manusiawi, upah minimum sektoral yang rendah, serta target kerja berat dengan ancaman potongan upah yang tidak masuk akal. Kondisi ini, menurutnya, mencerminkan ketidakadilan struktural dalam industri perkebunan yang mengutamakan kepentingan korporasi besar daripada kesejahteraan tenaga kerjanya.
"Ekspansi besar-besaran industri sawit justru memperparah kondisi sosial para buruh. Mereka masih bergulat dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak manusiawi, upah minimum sektoral yang rendah, serta target kerja yang berat dengan ancaman potongan upah yang tidak masuk akal," ungkap Syukri. Ia juga menambahkan bahwa banyak buruh bekerja lebih dari delapan bahkan sepuluh tahun, namun tetap berstatus harian lepas tanpa jaminan sosial dan perlindungan serikat pekerja.
Permasalahan Buruh Sawit Kalbar: Upah Rendah, Sistem Kerja Tidak Manusiawi
Ahmad Syukri menyoroti beberapa permasalahan utama yang dihadapi buruh sawit di Kalimantan Barat. Sistem kerja kontrak dan outsourcing yang marak menyebabkan ketidakpastian kerja dan hilangnya hak-hak pekerja. Upah minimum sektoral yang rendah, ditambah target kerja yang berat dan ancaman potongan upah yang tidak masuk akal, semakin memperparah kondisi mereka. Banyak buruh yang telah bekerja bertahun-tahun tetap berstatus harian lepas tanpa jaminan sosial dan perlindungan serikat pekerja.
Lebih lanjut, Syukri menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan besar telah menguasai jutaan hektare lahan di Kalbar. Luas perkebunan sawit yang mencapai 4,36 juta hektare dan diproyeksikan meningkat menjadi lebih dari 5 juta hektare, menunjukkan dominasi korporasi dalam industri ini. Dominasi ini, menurutnya, berdampak pada rendahnya daya tawar buruh dalam menuntut hak-haknya.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya perlindungan hukum dan pengawasan yang efektif dari pemerintah. Ketiadaan jaminan sosial, perlindungan serikat buruh, dan ketidakpastian kerja membuat buruh rentan terhadap eksploitasi. Mereka bekerja dalam kondisi yang tidak layak, dengan risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi.
Dampak Lingkungan dan Sosial Ekspansi Sawit
Ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan Barat tidak hanya berdampak negatif pada buruh, tetapi juga menimbulkan krisis ekologis dan konflik agraria. "Perampasan tanah masyarakat adat dan petani semakin meluas. Deforestasi, banjir, dan konflik manusia-satwa menjadi konsekuensi dari industri yang rakus akan lahan," tegas Syukri. Ekspansi ini mengancam keanekaragaman hayati, merusak ekosistem, dan menimbulkan berbagai bencana lingkungan.
Konflik agraria juga menjadi dampak yang tak terelakkan. Perebutan lahan antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat adat dan petani semakin intensif. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan sosial, seperti penggusuran, kekerasan, dan konflik berkepanjangan. Ketidakadilan dalam akses dan penguasaan lahan menjadi akar permasalahan yang mendasari konflik tersebut.
Perlu adanya upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan petani. Penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan perkebunan yang lestari dan adil sangat penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang lebih luas.
Tuntutan Link-AR Borneo untuk Perlindungan Buruh Sawit
Dalam rangka Hari Buruh Sedunia 2025, Link-AR Borneo mengajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Tuntutan tersebut meliputi kenaikan upah buruh kebun, penghapusan target kerja yang memberatkan, penghapusan sistem fleksibilitas perburuhan (outsourcing dan kontrak), perbaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit, pencabutan kebijakan Sawit Fund yang merugikan buruh, pencabutan UU Cipta Kerja, dan penetapan Undang-Undang Perlindungan Buruh Sawit.
Selain itu, Link-AR Borneo juga mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang perizinan berusaha di sektor perkebunan dan kehutanan, serta menetapkan moratorium pemberian izin berusaha di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang terbukti telah menghilangkan hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam. Tuntutan-tuntutan ini menunjukkan urgensi perlindungan buruh sawit dan pengelolaan industri sawit yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Syukri menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan buruh sawit terus menjadi korban ketimpangan dalam industri yang menopang ekonomi nasional. "Kalau negara ingin industri sawit berkelanjutan, maka kesejahteraan buruh harus menjadi fondasi utama. Buruh bukan mesin, mereka manusia," tegasnya. Pernyataan ini menekankan pentingnya menempatkan kesejahteraan buruh sebagai prioritas utama dalam pengembangan industri sawit di Indonesia.