Fakta Mengejutkan: 51,3% Kekerasan Anak Disabilitas Terjadi di Ruang Publik, Ini Kata IJF dan KPPPA
Data terbaru IJF mengungkap 51,3% kasus kekerasan anak disabilitas terjadi di ruang publik. Bagaimana pemerintah dan organisasi anak menyikapi fenomena gunung es ini?

Konsorsium Indonesian Joining Forces (IJF) merilis data mengejutkan terkait kekerasan yang menimpa anak-anak penyandang disabilitas di Indonesia. Survei terbaru mereka menunjukkan bahwa lebih dari separuh kasus, tepatnya 51,3 persen, terjadi di ruang publik. Temuan ini menyoroti kerentanan kelompok rentan di tengah masyarakat.
Data tersebut dipaparkan dalam acara Temu Anak Indonesia 2025 di Jakarta pada Rabu, 13 Agustus. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 2025. Ketua Komite IJF, Angelina Theodora, menyatakan bahwa sembilan dari sepuluh orang dekat anak disabilitas pernah menyaksikan kekerasan. Kekerasan tersebut bisa berupa verbal, psikis, atau fisik.
IJF, sebagai konsorsium enam organisasi fokus anak, menegaskan komitmennya untuk mendukung pemerintah dalam menghentikan kekerasan pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi mitra utama dalam upaya ini. Fenomena kekerasan anak masih dianggap sebagai gunung es yang perlu penanganan serius.
Tingginya Angka Kekerasan Anak Disabilitas di Ruang Publik
Data yang disampaikan oleh IJF mengindikasikan bahwa ruang publik, yang seharusnya menjadi tempat aman, justru menjadi lokasi dominan terjadinya kekerasan terhadap anak-anak disabilitas. Angka 51,3 persen ini menunjukkan urgensi untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan protektif. Kekerasan ini mencakup berbagai bentuk, dari verbal hingga fisik.
Survei kuantitatif dan studi kualitatif yang dilakukan oleh Forum Anak IJF menjadi dasar temuan ini. Hasilnya memperlihatkan betapa rentannya anak-anak dengan disabilitas terhadap perlakuan tidak adil. Kondisi ini memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.
Angelina Theodora dari Wahana Visi Indonesia, yang juga Ketua Komite IJF, menekankan pentingnya komitmen bersama. Konsorsium ini berupaya keras mendukung pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi.
Respons Pemerintah dan Suara Anak Disabilitas
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus, Susanti, mengakui bahwa kasus kekerasan anak masih seperti fenomena gunung es. Banyak kasus yang tidak terungkap ke permukaan. Susanti menegaskan bahwa setiap anak, termasuk anak penyandang disabilitas, memiliki hak untuk tumbuh optimal, berpendapat, dan diperlakukan secara adil.
Suara anak-anak penyandang disabilitas juga disampaikan dalam acara Temu Anak Indonesia 2025. Zakiya, seorang penyandang disabilitas dari Jakarta Timur, mengungkapkan harapannya agar pemerintah dapat merespons kasus kekerasan dengan lebih cepat. Ia menyoroti bahwa anak disabilitas tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan dibandingkan anak lainnya.
Lebih dari 80 anak dari berbagai daerah, termasuk dari komunitas disabilitas dan sekolah luar biasa, hadir dalam acara tersebut. Mereka aktif mendiskusikan strategi nasional pencegahan kekerasan. Selain itu, mereka juga menyampaikan rekomendasi penting kepada tingkat regional ASEAN.
Kolaborasi Regional dan Edukasi untuk Perlindungan Optimal
Perwakilan ASEAN Commission on the Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), Yanti Kusumawardhani, menyambut positif inisiatif ini. Mendengarkan dan mengintegrasikan pendapat anak ke dalam rencana aksi regional dianggap sangat penting. Kolaborasi lintas negara diperlukan untuk menciptakan perlindungan yang komprehensif.
Selain diskusi strategis, peserta acara juga diajak mengikuti berbagai booth edukatif dan permainan yang berkaitan dengan hak-hak anak. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman publik mengenai isu kekerasan. Edukasi menjadi kunci dalam membangun kesadaran kolektif.
IJF berharap bahwa kegiatan seperti Temu Anak Indonesia 2025 dapat menumbuhkan komitmen kolektif dari berbagai pihak. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi semua anak, khususnya anak-anak disabilitas. Lingkungan yang suportif akan membantu mereka tumbuh dan berkembang secara optimal.