Fakta: Perkawinan Anak Bukan Budaya Sasak, Ratusan Anak Lombok Tengah Serukan Tolak Perkawinan Anak
Ratusan anak di Lombok Tengah turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap praktik perkawinan anak yang merampas hak dan masa depan. Apa pesan mereka kepada pemerintah?

Ratusan anak dari berbagai desa di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), turun ke jalan pada Minggu, 27 Juli, membawa poster edukasi sebagai bentuk dukungan terhadap pencegahan perkawinan anak. Aksi damai ini merupakan bagian dari peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 dengan mengusung tema "Tolak Jadi Target Perkawinan Anak". Mereka menyuarakan perlawanan terhadap praktik perkawinan anak yang masih kerap terjadi di beberapa wilayah, khususnya di Lombok Tengah.
Kegiatan ini mendapat apresiasi langsung dari Bupati Lombok Tengah, H. Lalu Pathul Bahri, yang menyatakan dukungannya terhadap gerakan yang dipelopori oleh anak-anak dan remaja ini. Bupati menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak akan tinggal diam dan akan mendengar suara serta aspirasi dari para peserta aksi. Komitmen ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar anak di wilayahnya.
Puncak aksi berlangsung di depan Masjid Agung Praya, di mana perwakilan anak, termasuk Ketua Forum Anak Desa Tumpak Mirza, menyampaikan orasi yang lantang. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa praktik perkawinan anak bukanlah bagian dari budaya Sasak, melainkan sebuah bentuk kekerasan struktural yang merampas hak dan masa depan anak-anak. Pernyataan ini menjadi inti dari pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas dan pemangku kebijakan.
Suara Lantang Anak-anak Lombok Tengah
Aksi damai yang melibatkan ratusan anak ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik perkawinan anak yang masih marak. Mereka berjalan di Kota Praya sambil membawa berbagai poster yang berisi pesan edukasi dan penolakan. Keberanian mereka dalam menyuarakan isu krusial ini patut diacungi jempol, menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kesadaran tinggi akan hak-hak mereka.
Dalam orasi yang disampaikan di hadapan Bupati Lombok Tengah, perwakilan anak, Mirza, dengan tegas menyatakan penolakan mereka. "Kami bukan objek adat. Kami adalah subjek perubahan," serunya. Pernyataan ini menyoroti bahwa anak-anak memiliki peran aktif dalam menentukan masa depan mereka sendiri dan menolak dijadikan alat atas nama tradisi yang merugikan.
Mirza juga menambahkan bahwa perkawinan anak secara langsung menghentikan mimpi dan masa depan mereka. Praktik ini tidak hanya menghilangkan kesempatan pendidikan, tetapi juga membatasi potensi perkembangan diri anak. Oleh karena itu, mereka secara kolektif menolak untuk menjadi target perkawinan anak, menyerukan perlindungan yang lebih kuat dari pemerintah dan masyarakat.
Pesan ini menggarisbawahi bahwa perkawinan anak bukanlah warisan budaya Sasak yang harus dilestarikan. Sebaliknya, hal ini dianggap sebagai bentuk kekerasan struktural yang merugikan. Penolakan ini menunjukkan pemahaman mendalam dari anak-anak tentang dampak negatif perkawinan anak terhadap individu dan perkembangan sosial.
Komitmen Pemerintah dan Kolaborasi Lintas Sektor
Bupati Lombok Tengah, H. Lalu Pathul Bahri, secara langsung mengapresiasi keberanian Forum Anak Lombok Tengah dalam menyuarakan isu penting ini. Ia menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah untuk hadir dan bekerja sama dalam melindungi hak-hak anak di daerah tersebut. Dukungan ini menjadi angin segar bagi upaya pencegahan perkawinan anak di NTB.
Bupati juga menyatakan komitmennya untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Kolaborasi ini melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan pemerintah daerah. Pendekatan holistik ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi tumbuh kembang anak.
Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiatif "Power to Youth", sebuah program yang menggandeng berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Inisiatif ini melibatkan Yayasan Gemilang Sehat Indonesia, Forum Anak Lombok Tengah, serta Forum Anak dari empat desa, yaitu Labulia, Jelantik, Tumpak, dan Pengengat. Keterlibatan berbagai pihak ini menunjukkan sinergi yang kuat dalam mengatasi masalah sosial.
Wakil Bupati Lombok Tengah, HM. Nursiah, juga menunjukkan antusiasme tinggi dalam mengikuti jalannya orasi dan memberikan apresiasi terhadap semangat anak-anak dan kaum muda yang terlibat. Kehadiran dan dukungan dari pejabat tinggi daerah ini memberikan legitimasi dan semangat tambahan bagi gerakan penolakan perkawinan anak, menegaskan bahwa isu ini menjadi prioritas pembangunan daerah.