Wakil Ketua MPR Dorong Penghapusan Perkawinan Anak Secara Konsisten
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan pentingnya konsistensi dalam upaya menghapus perkawinan anak di Indonesia demi generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Jakarta, 24 Maret 2024 - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menyerukan konsistensi dalam upaya menghapus praktik perkawinan anak di Indonesia. Hal ini disampaikan Lestari mengingat pentingnya mencetak generasi penerus bangsa yang berdaya saing tinggi di masa depan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta pada Senin.
Lestari memberikan apresiasi atas tren penurunan angka perkawinan anak yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan penurunan angka perkawinan anak dari 10,35 persen pada tahun 2021 menjadi 6,92 persen pada tahun 2023. Namun, ia menekankan bahwa tren positif ini harus diiringi dengan upaya pencegahan yang lebih intensif agar perkawinan anak benar-benar dapat dihapuskan sepenuhnya.
Penurunan angka perkawinan anak, menurut Lestari, merupakan hasil kerja keras berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi lintas sektor sangat efektif dalam mengatasi masalah sosial yang kompleks seperti perkawinan anak. Namun, Lestari mengingatkan bahwa pekerjaan belum selesai dan dibutuhkan komitmen berkelanjutan dari semua pihak.
Upaya Konsisten untuk Masa Depan Bangsa
Lestari Moerdijat, atau yang akrab disapa Rerie, menjelaskan bahwa perkawinan anak berisiko besar menurunkan kualitas generasi penerus bangsa. Anak-anak yang menikah di usia dini seringkali menghadapi berbagai tantangan, mulai dari risiko kematian bayi yang lebih tinggi hingga potensi kekurangan gizi dan stunting. "Pasalnya, bila perkawinan anak masih terjadi, kekhawatiran kualitas generasi penerus bangsa yang rendah pada masa datang makin besar," tegas Rerie.
Ia menambahkan bahwa perkawinan anak juga berdampak negatif terhadap pendidikan dan karier perempuan. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan peningkatan risiko putus sekolah bagi anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Hal ini berdampak pada terbatasnya peluang kerja dan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah di usia dewasa.
Rerie berharap agar kolaborasi antar berbagai pihak terkait dapat terus ditingkatkan dan diperkuat. Upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara konsisten dan terintegrasi di semua tingkatan, mulai dari tingkat pusat hingga desa. Partisipasi aktif masyarakat, khususnya tokoh agama dan masyarakat, sangat penting dalam mensosialisasikan bahaya perkawinan anak dan mendorong perubahan perilaku.
Peran Undang-Undang dan Kolaborasi Lintas Sektor
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas mengatur bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, pernikahan di bawah usia 18 tahun dikategorikan sebagai perkawinan anak dan melanggar hukum. Penerapan undang-undang ini harus dijalankan secara konsisten dan efektif untuk melindungi hak-hak anak.
Lebih lanjut, Lestari menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya menghapus perkawinan anak. Kolaborasi yang efektif melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, organisasi keagamaan, dan media massa. Semua pihak harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan edukasi, dan memberikan dukungan bagi anak-anak yang berisiko mengalami perkawinan anak.
Dengan komitmen dan kerja keras bersama, diharapkan Indonesia dapat benar-benar menghapus praktik perkawinan anak dan menciptakan generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Kesimpulan: Penghapusan perkawinan anak membutuhkan komitmen dan kolaborasi berkelanjutan dari semua pihak. Upaya konsisten ini penting untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.