Gelar Pahlawan Soeharto: Lukai Keadilan atau Sejarah? DPR Minta Kajian Mendalam
Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menuai kontroversi, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI meminta kajian mendalam terkait dugaan korupsi dan pelanggaran HAM masa Orde Baru.

Jakarta, 6 Mei 2024 - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menimbulkan polemik. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, menyoroti hal ini dan meminta Kementerian Sosial untuk mengkaji usulan tersebut secara mendalam. Permintaan ini muncul karena adanya kekhawatiran bahwa pemberian gelar tersebut dapat melukai rasa keadilan masyarakat Indonesia, mengingat sejumlah kasus hukum terkait dugaan korupsi dan pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto belum sepenuhnya terselesaikan.
Abidin Fikri menekankan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional harus berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Salah satu kriteria penting adalah rekam jejak yang bersih dari tindakan melawan hukum. Ia mengingatkan bahwa kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto, yang ditetapkan pada tahun 2000, hingga kini belum mendapatkan penyelesaian hukum yang jelas. Pemberian gelar pahlawan di tengah ketidakjelasan hukum ini dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan dapat mengikis kepercayaan publik.
Lebih lanjut, Abidin juga menyinggung dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan praktik KKN yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. Menurutnya, masalah-masalah tersebut masih menyisakan luka bagi banyak korban dan keluarga mereka. "Mengabaikan fakta sejarah dan ketidaktuntasan kasus hukum Soeharto akan mencederai semangat antikorupsi dan keadilan sosial yang sedang kita perjuangkan bersama," tegas Abidin dalam keterangan tertulisnya.
Polemik Gelar Pahlawan Soeharto: Antara Apresiasi dan Kekhawatiran
Pernyataan Abidin Fikri mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat sipil yang juga meminta peninjauan ulang atas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Mereka menilai bahwa pemberian gelar tersebut dapat menimbulkan kontroversi dan tidak sesuai dengan semangat reformasi dan penegakan hukum. Abidin sendiri mengapresiasi aspirasi tersebut dan mendesak Dewan Gelar dan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat serta mempertimbangkan dampak sosial dan historis dari keputusan ini.
Komisi VIII DPR RI memastikan akan mengawal proses ini dengan penuh tanggung jawab. Abidin juga mengajak semua pihak untuk mengedepankan dialog yang konstruktif demi menjaga keutuhan sejarah dan keadilan bagi rakyat Indonesia. "Kami mengajak semua pihak untuk menjaga dialog yang konstruktif demi menjaga keutuhan sejarah dan keadilan bagi rakyat Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan bahwa Soeharto berpeluang mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 2025. Peluang ini terbuka setelah MPR mencabut TAP MPR 11/1998 tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, pernyataan tersebut memicu perdebatan publik yang mempertanyakan kesesuaian pemberian gelar tersebut dengan fakta sejarah dan prinsip keadilan.
Kajian Mendalam Diperlukan untuk Menjaga Integritas Proses Penganugerahan
Abidin menekankan pentingnya kajian mendalam atas usulan tersebut. Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek hukum, sejarah, dan sosial, sebelum mengambil keputusan. Pemberian gelar pahlawan nasional, menurutnya, harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat. Rakyat Indonesia, katanya, mengharapkan pahlawan nasional sebagai figur teladan moral dan integritas.
Perdebatan ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penganugerahan gelar pahlawan nasional. Proses tersebut harus bebas dari intervensi politik dan didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang akurat dan penilaian yang objektif. Keputusan yang diambil harus dapat diterima oleh masyarakat luas dan tidak menimbulkan kontroversi yang dapat memecah belah bangsa.
Lebih lanjut, perdebatan ini juga membuka diskusi publik yang lebih luas mengenai kriteria dan proses penetapan pahlawan nasional. Apakah cukup hanya melihat jasa-jasa di masa lalu, atau perlu juga mempertimbangkan aspek moral dan integritas tokoh tersebut sepanjang hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab secara bijak dan demokratis.
Kesimpulan
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto masih menjadi perdebatan yang kompleks. Komisi VIII DPR RI mendorong kajian mendalam untuk memastikan prosesnya sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Transparansi dan dialog konstruktif menjadi kunci dalam menyelesaikan polemik ini.